Senin, 27 Juni 2011

Benih Bapak Mertua

Ini berawal saat ibunya sakit dan harus masuk rumah sakit dan Paul harus terbang ke luar kota untuk urusan bisnis yang amat penting. Paul tadinya tak setuju saat Emma meminta papanya, Jack, agar menginap di rumah mereka untuk sementara untuk menemaninya pergi ke rumah sakit, mengatakan padanya bagaimana hal itu akan mengganggu pikirannya karena dia adalah titik penting dalam negosiasi kali ini.
Dan pikiran yang sangat mengganggunya itu adalah karena dia curiga sudah sejak dulu papanya ada ‘perasaan lain’ pada Emma istrinya. Emma merasa sangat marah pada Paul, karena sangat egois dan dengan perasaan cemburunya itu. Bukan hanya kali ini Paul meragukan kesetiaannya terhadap perkawinan mereka dan kali ini dia merasa telah berada dalam puncaknya… dan dia tahu dia akan membuat Paul membayar sikapnya yang menjengkelkan itu.
Ketika itu terjadi, Jack tiba pada hari sebelum Paul terbang ke luar kota untuk bertemu kliennya. Dia tidak membiarkan kedatangan Jack mengganggu jadwalnya, meskipun dia akan membiarkan papanya bersama Emma tanpa dia dapat mengawasinya selama beberapa hari kedepan. Ini adalah segala yang Emma harapkan dan lebih, ketika dia menyambut Jack dengan secangkir teh yang menyenangkan…
Dia bisa katakan dari perhatian Jack yang ditunjukkannya pada kunjungan itu. Mata Jack berbinar saat dia tahu Paul akan pergi besok pagi-pagi benar, dan dia mendapatkan Emma sendirian dalam beberapa hari bersamanya. Emma sangat menarik, yang sungguhpun dia tahu sudah tidak punya kesempatan terhadap Emma, dia masih berpegang pada harapannya, dan berbuat yang terbaik untuk mengesankannya, dan menggodanya.
Emma tersanjung oleh perhatiannya, dan menjawab dengan mengundang bahwa mereka berdua dapat mulai untuk membiarkan harapan dan pemikiran yang telah dia kubur sebelumnya untuk mulai kembali ke garis depan itu.
Sudah terlambat untuk jam kunjungan rumah sakit sore itu, sehingga mereka akan kembali lagi esok paginya sekitar jam sebelas. Emma menuangkan beberapa gelas wine untuk mereka berdua sekembalinya dari rumah sakit petang itu.
“Aku harus pergi dan mandi… Aku kira aku tidak punya waktu pagi nanti”.
“Oh bisakah papa membiarkan showernya tetap hidup? Aku juga mau mandi jika papa tidak keberatan” Emma mau tak mau nati akan menyentuh dirinya di dalam shower, bayangan tangan Jack pada tubuhnya terlalu menggoda dan rasa marah terhadap suaminya sangat sukar untuk dienyahkan dari pikirannya.
Dia belum terlalu sering mengenakan jubah mandi sutera itu sebelumnya, tetapi memutuskan untuk memakainya malam ini. Hasrat hatinya mendorongnya untuk melakukannya untuk papa mertuanya, Paul bisa protes padanya jika dia ingin. Terlihat pas di pinggangnya dan dengan tali terikat, membuat dadanya tertekan sempurna. Itu nampak terlalu ‘intim’ saat dia menunjukkan kamar mandi di lantai atas. Emma meninggalkannya, dan kemudian kembali semenit kemudian.
“Aku menemukan salah satu jubah mandi Paul untuk papa” dia berkata tanpa berpikir saat dia membukakan pintu untuknya. Di dalam cahaya yang remang-remang Emma dapat melihat pantatnya yang atletis.
Mereka duduk bersama di atas sofa, melihat T.V. Dan setelah dua gelas wine lagi, Emma tahu dia akan mendorong ‘keinginan’ manapun yang Jack ingin lakukan. Dia sedikit lebih tinggi dari Paul, maka jubahnya hanya sampai setengah paha berototnya. Mau tak mau Emma meliriknya sekilas dan ingin melihat lebih jauh lagi. Dengan cara yang sama, Jack sulit percaya akan keberuntungannya untuk duduk disamping Emma yang berpakaian sangat menggoda dan benaknya mulai membayangkan lebih jauh lagi. Jack akan dikejutkan nantinya jika dia kemudian mengetahui hal sederhana apa yang akan membuat hasratnya semakin mengakar…
Besok adalah hari ulang tahun Emma, dan Paul lupa seperti biasanya, alasannya bahwa tidak ada waktu untuk lakukan apapun ketika dia sedang pergi, dan dia telah berjanji pada Emma kalau dia akan berusaha untuk mengajaknya untuk sebuah dinner yang manis ketika pulang. Kenyataannya bahwa Jack tidak hanya tidak melupakan, tetapi membawakannya sebuah hadiah yang menyenangkan seperti itu, menjadikan hatinya lebih hangat lagi. Dia seperti seorang anak perempuan kecil yang sedang membuka kotak, dan menarik sebuah kalung emas.
“Oh papa…papa seharusnya tidak perlu…ini indah sekali”
“Tentu saja aku harus…tapi aku takut itu tidak bisa membuat kamu lebih cantik cintaku… sini biarku ku pasangkan untukmu”
“Ohh papa!” Emma merasa ada semacam perasaan cinta untuknya saat dia berada di belakangnya. Dia harus lebih dulu mengendurkan jubah untuk membiarkan dia memasang kaitan di belakang, dan ketika dia berbalik ke arahnya, Jack tidak bisa menghindari tetapi matanya mengarah pada belahan dada Emma yang menyenangkan.
“Oh… apa rantainya kepanjangan?” ia berharap, menatap kalung yang melingkar diatas dada lezatnya.
“Tidak pa… ini menyenangkan” dia tersenyum, menangkap dia memandang ke sana lebih banyak dari yang seharusnya diperlukan.
“Oh terima kasih banyak…” Emma menciumnya dengan agak antusias dibanding yang perlu dilakukannya dan putus tiba-tiba dengan sebuah gairah dipermalukan. Kemudian Jack menangkap momen itu, menarik punggungnya seolah-olah meredakan kebingungannya dan menciumnya dengan perasaan jauh lebih dibandingkan perasaan seorang mertua.
“Selamat ulang tahun sayang” katanya, saat senyuman mereka berubah jadi lebih serius.
“Oh terimakasih papa” Emma menciumnya kembali, menyadari ini adalah titik yang tak bisa kembali lagi, dan kali ini membiarkan lidahnya ‘bermalas-malasan’ terhadapnya. Dia baru saja mempunyai waktu untuk merapatkan jubahnya kembali saat Paul menelponnya untuk ucapkan selamat malam dan sedikit investigasi. Paul ingin bicara pada papanya dan memintanya agar menyimpan cintanya untuk ibunya yang sudah meninggal. Mata Emma tertuju pada Jack saat dia menenteramkan hati putranya di telpon, mengetahui dia akan membiarkan pria ini melakukan apapun…
“Aku sangat suka ini pa…” Emma tersenyum ketika telpon dari Paul berakhir. Dia menggunakan alasan memperhatikan kalungnya untuk membuka jubahnya lagi, kali ini sedikit lebih lebar.
“Apa kamu pikir ini cocok untukku?”
“Mmm oh ya…” dia tersenyum, matanya menelusuri bagian atas gundukan lezatnya, dan untuk pertama kalinya membiarkan gairahnya tumbuh. Emma secara terbuka mempresentasikan payudaranya untuk kekasihnya, membiarkan dia menatapnya ketika dia membusungkan dadanya jauh lebih lama dibandingkan hanya sekedar untuk memandangi kalung itu. Dia mengangkat tangannya dan memegang mainan kalung itu, mengelus diantara dadanya, menatap tajam ke dalam matanya.
“Kamu terlihat luar biasa dengan memakainya” dia tersenyum.
Nafas Emma yang memburu adalah nyata ketika tangan kekasihnya telah menyentuhnya di sana, dan pandangannya yang memikat saat kekasihnya menyelami matanya memberi dia tiap-tiap dorongan. Mereka berdua tahu apa yang akan terjadi kemudian, sudah terlalu jauh untuk menghentikannya sekarang. Dia akan bercinta dengan papa mertuanya. Mereka berdua juga menyadari, bahwa tidak perlu terburu-buru kali ini, mereka harus lebih dulu membiarkan berjalan dengan sendirinya, dan walaupun kemudian itu akan menjadi resikonya nanti.
Emma bisa melihatnya sekarang kalau ‘pertunjukannya’ yang nakal telah memberi efek pada gairah kekasihnya. Gundukan yang terlihat nyata di dalam jubahnya menjadikan jantungnya berdebar kencang, dan kekasihnya menjadi bangga ketika melihatnya menatap itu, seperti halnya dia yang memandangi payudaranya.
“Kamu sudah cukup merayuku…kamu nakal!” Emma tersenyum pada kata-kata terakhirnya, memberi dia pelukan yang lain. Pelukan itu berubah menjadi sebuah ciuman, dan kali ini mereka berdua membiarkan perasaan mereka menunjukkannya, lidah mereka saling melilit dan memukul-mukul satu sama lain. Emma merasa tali jubahnya mengendur, dan Jack segera merasakan hal yang sama.
“Oh Jack…kita tidak boleh” dia menjauh dari kekasihnya sebentar, tidak mampu untuk hentikan dirinya dari pemandangan jubahnya yang terbuka cukup lebar untuk melihat ujung penisnya yang tak terukur membesar diantara pahanya yang kuat.
“Ohh Emma … aku tahu…. tapi kita harus” dia menarik nafas panjang, memandang pada perutnya untuk melihat kewanitaannya yang sempurna, telah merekah dan mengeluarkan cairannya. Detak jantung Emma bahkan jadi lebih cepat saat dia lihat tonjolannya menghentak lebih tinggi ke udara saat kekasihnya memandang bagian paling intimnya.
“Oh Jack sayang…” desahnya pelan saat kekasihnya memeluknya, jubahnya tersingkap dan dia terpana akan tonjolannya yang sangat besar di bagian bawahnya. Itu sepertinya memuat dua prem ranum yang membengkak dengan benihnya yang berlimpah. Dia tidak bisa hentikan dirinya sekarang… dia membayangkan dirinya berenang di dalamnya.
“Emma cintaku…betapa lamanya aku menginginkanmu…” katanya saat ia menggapai paha Emma.
“Oh Jack… seandainya aku tahu… setiap kali Paul bercinta denganku aku membayangkan itu adalah kamu yang di dalamku… papa termanis… apakah aku terlalu jahat untuk katakan hal seperti itu?”
“Tidak kekasihku…” jawabnya, mencium lehernya dan turun pada dadanya, dan membuka jubahnya lebih lebar lagi untuk agar tangannya dapat memegang payudaranya. Mereka berdua ingin memanfaatkan momen itu…
“Apakah kamu ingin aku di sana sekarang?”
“Oh Jack… ya… papa” erangnya kemudian mengangkat jubahnya dan tangannya meraih penisnya.
“Aku sangat menginginkannya”
“Oh Emma…. kekasihku, apakah ini yang kamu ingin?” dia mengerang, memegang jarinya di sekitar batang berdenyutnya yang sangat besar.
“Oh ya papa… penismu… aku ingin penis papa di dalamku”
“Sayangku yang manis…apa kamu menginginkannya di sini?” kekasihnya melenguh, menjalankan jemarinya yang pintar sepanjang celah itu, menggodanya, membuat matanya memejam dengan nikmat. Emma hampir merintih ketika dia menatap mata kekasihnya.
“Mmmm penis papa di dalam vaginaku”
“Ahhh anak manisku tercinta” Emma menjilat jarinya dan menggosoknya secara lembut di atas ujung kejantanannya yang terbakar, membuat kekasihnya merasa ngeri dengan kegembiraan.
“Kamu ingin jadi nakal kan pa…kamu ingin orgasme di dalamku” Emma menggoda, meninggalkan pembesaran tonjolan yang bagus, dan mengalihkan perhatiannya kepada buah zakarnya yang membengkak.
Sekarang adalah giliran kekasihnya untuk menutup matanya dengan gairah yang mengagumkan.
“Kamu ingin meletakkan spermamu di dalam istri putramu… kamu ingin melakukan itu di dalam vagina gadis kecilmu” Dia hampir menembakkannya bahkan waktu Emma menggodanya, tetapi entah bagaimana menahan ombak klimaksnya, dan mengembalikannya pada Emma, keduanya sekarang saling memegang pinggang satu sama lainnya.
“Dan kamu ingin benih papa di dalam kandunganmu kan… dalam kandunganmu yang dahaga… membuat seorang bayi kecil di dalam kandungan suburmu” dia tidak bisa semakin dekat kepada tanda untuknya… Emma telah memimpikan kekasihnya memberinya seorang anak, Emma gemetar dan menggigit bibirnya saat jari tangan kekasihnya diselipkan di dalam saluran basahnya.
“Papa… oh ya… ya… tolong… aku sangat menginginkannya…” Paul belum pernah punya keinginan membicarakan tentang hal itu… Emma tidak benar-benar mengetahui apakah dia ingin seorang anak, sekalipun begitu pemikiran itu menjadi sebuah gairah yang luar biasa. Bibirnya menemukannya lagi, dan tenggelam dalam gairahnya, lidah mereka melilit lagi dengan bebas tanpa kendali yang sedemikian manis. Emma membiarkan jubahnya terbuka seluruhnya sekarang, menekankan payudaranya secara lembut melawan dada berototnya, perasaan geli membuat cairannya lebih berlimpah. Jantungnya terisi dengan kenikmatan dan antisipasi, pada pikiran bahwa dia menginginkan dirinya…bahwa seluruh gairah Emma akan terpenuhi dengan segera.
“Oh gadis manisku yang jahat ” lenguhnya saat bibir Emma menggodanya.
“Aku akan pergi sebentar” dia tersenyum dengan mengundang saat dia menoleh ke belakang dari pintu.
“Jangan pergi” Emma melangkah ke lantai atas, jubahnya berkibar di sekitarnya lagi saat dia memandangnya. Emma tidak perlu merasa cemas, suaminya sedang berada jauh di sana dengan segala egoisme kesibukannya, dan Emma mengenal bagaimana kebiasaanya. Jantung Emma dilanda kegembiraan lebih ketika dia melepaskan jubahnya dan berjalan menuju dia… pada papa mertuanya… telanjang dan siap untuk menyerahkan dirinya seluruhnya kepada kekasihnya.
Ketika dia mendengar langkah kaki Emma pada tangga, dia lalu keluar dari jubahnya dan sekarang berlutut di atas permadani di depan perapian, menghadapinya ketika dia masuk, ereksinya semakin besar dalam posisi demikian. Emma berlutut di depannya, tangannya memegang obyek hasratnya, yang berdenyut sekilas, lembut dan demikian panas dalam sentuhannya. Matanya terpejam dalam kenikmatan murni saat Emma berlutut dan mencium ujung merah delima itu, matanya terbuka meresponnya, dan mengirim beberapa tetesan cairan lezat kepada lidah penggemarnya. Kekasihnya mengelus payudaranya dan menggoda puting susunya yang gemuk itu.
“Aku sudah siap pa… malam ini seutuhnya milikmu”
“Emma sayang, kamu indah sekali…” kekasihnya memujinya dan dia tersenyum dengan bangga.
“Oh Papa… kumohon. Aku sangat menginginkannya … aku ingin benihmu di dalamku”
“Sepanjang malam cintaku…” kekasihnya tersenyum, rebah bertumpu pada sikunya lalu menyelipkan tangannya diantara paha Emma.
“Kita berbagi tiap momen” Emma rebahan pada punggungnya, melebarkan lututnya membiarkan jari kekasihnya berada di dalam rendaman vulvanya.
“Ohh mmm papa sayang… ” Emma melenguh saat jari kekasihnya merangsang tunas kesenangannya tanpa ampun.
“Mmm betapa aku sangat memuja perempuan kecilku… ” kekasihnya menggodanya ketika wajahnya menggeliat di puncak kesenangan.
“Ohh papa… rasakan bagaimana basahnya aku untukmu”
“Apa anakku yang manis sudah basah untuk penis papa? Mmmm penis papa di dalam vagina panas gadis kecilnya…. penis besar papa di dalam vagina gadisnya yang panas, vagina basah…” kata-katanya diiringi dengan tindakan saat dia bergerak diantara pahanya, tongkatnya berdenyut dengan bernafsu saat dia mempersiapkan lututnya.
“Setubuhi aku pa… masukkan penismu ke dalamku”
“Sayang… Emma yang nakal… buka vaginamu untuk penis papa” tangan mereka memandu, kejantanannya membelah masuk kewanitaannya.
“Papa… sepenuhnya untukku kan?”
“Ya putriku manis… sperma yang penuh untuk kandunganmu… apa kamu akan membuat papa melakukan itu di dalam tubuhmu?”
“Ahh ya papa… aku akan membuatmu memberikan semuanya ke dalam tubuhku… ahh ahh ahh” Emma mulai menggerakkan pinggangnya…takkan menghentikan dirinya saat dia membayangkan itu. Mata mereka saling bertemu dalam sebuah kesenangan yang sempurna, mereka bergerak dengan satu tujuan, yang ditetapkan oleh kata-katanya.
“Papa akan menebarkan semuanya ke dalam kandunganmu yang subur… sperma papa akan membuat bayi di dalam kandunganmu Emma sayang” tangan kekasihnya mengayun pantatnya sekarang saat dia mulai menusuk lebih dalam, matanya menatap kekasihnya ketika dia menarik pantatnya yang berotot, mendorong lebih lanjut ke dalam tubuhnya… memberinya hadiah yang sangat berharga.
Penis besarnya menekan dalam dan panjang, buah zakarnya yang berat menampar pantatnya saat dia mendorong ke dalam kandungannya. Dia tidak bisa menolong, hanya melihatnya, setiap gerakan mereka yang mendatangkan nikmat… membayangkan waktunya akan segera datang… memancar dari kekasihnya… berenang di dalam dirinya… membuatnya mengandung anaknya. Dia menggelinjang saat kekasihnya menyusu pada puting susunya yang diremas keras, tangan besarnya meremas payudaranya bersama-sama saat dia mengocoknya berulang-ulang.
Dia berteriak, menaikkan lututnya setinggi yang dia bisa untuk memaksanya lebih dalam ke bagian terdalam vaginanya. Kekasihnya menghentak lebih cepat, meremas pantatnya untuk membuat sebuah lingkaran yang ketat pada vaginanya… momen yang sempurna mendekat dengan cepat saat dia menatap mata kekasihnya yang juga dipeluk selimut puncak surgawi. Emma memperlambat gerakan kekasihnya, menenangkannya ketika waktunya datang…
“Aku ingin menahanmu jauh di dalam tubuhku saat kamu keluar…saat kamu memompa benihmu ke dalam tubuhku”
“Oh sayang…ya manisku…tahan aku saat kukeluarkan spermaku ke dalam kandunganmu”
Dia merasa itu membesar di dalam cengkramannya, urat gemuk penisnya siap untuk berejakulasi, dan kemudian menghentak dengan liar, dan dengan masing-masing semburan yang dia rasa pancarannya yang kuat menghantam dinding kewanitaannya, membasahi hamparan ladangnya yang haus kekeringan. Bibir mereka bertemu dalam lilitan sempurna, tangisan Emma membanjiri kekasihnya kala kekasihnya menyembur dengan deras ke dalamnya. Punggung Emma melengkung, mencengkeram penisnya sangat erat saat ombak kesenangan menggulungnya. Dia ingin menahannya di sana untuk selamanya…
Jantung mereka berdegup sangat keras ketika mereka berbaring bersama, terengah-engah, sampai mereka bisa berbicara.
“Oh Tuhan Emma…aku sangat menginginkanmu…”
Dan untuk beberapa hari kedepan, tak ada sepatah katapun yang sanggup melukiskan momen itu…

Minggu, 26 Juni 2011

Para Peronda Malam

Karena seringnya pencuri masuk ke perumahan yang kami tempati, maka warga perumahanku secara aklamasi menyewa penjaga malam dan warga boleh boleh saja membantu mereka malam hari. Memang kebetulan rumah yang kutempati di tengah perumahan itu tapi dua rumah di sebelahku belum dihuni sehingga sering kali keempat rumah itu dibuat sebagai tempat persembunyian.
Malam itu aku terkena influenza berat karena kehujanan sepanjang siang.
“Aku masih menyiapkan makanan untuk penjaga malam, mas….!!”, kata istriku yang berpostur tubuh mungil dengan tinggi 155 cm, berwajah menarik seperti bintang Film Mandarin, meskipun kulitnya agak sawo matang dengan rambut pendek, sehingga tampak lebih muda dari usianya yang menginjak 40 tahun.
Malam itu udara sangat panas sehingga dia hanya memakai daster yang lumayan tipis, sehingga memperlihatkan bentuk tubuhnya, utamanya pantat bahenol nya yang empuk itu yang bergoyang saat berjalan, walaupun perutnya tidak ramping lagi, karena sudah dua kali mengandung dan model dasternya berkancing di depan sehingga payudara biarpun tidak besar, tapi padat berisi, yang berukuran 34C agak tersembul dan kedua puting susu nya tampak menonjol dari balik dasternya karena memang dia kalau dirumah hanya memakai camisole tipis saja.
“Sudah pukul sepuluh kok belum datang, ya ..!”, dia bergumam sendiri karena mengira aku sudah tertidur. Beberapa saat kemudian kudengar dua orang bercakap-cakap di luar dan mengetuk pintu rumah pelan. Istriku yang rebahan di sampingkupun bangkit dan entah tersadar atau tidak istriku membetulkan rambutnya dan memoles bibirnya sehingga bibirnya semakin merah.
“Lho ????”, gumannya pelan ketika tersadar dia memoles bibirnya, tapi karena penjaga malam itu terus mengetuk pintu, dia pun tak jadi membersihkan bibirnya yang merah merangsang itu.
“Malam, Bu Yati…!”, terdengar suara seseorang dan aku mengerti kalau suara itu adalah Pak Deran dan istriku sudah dikenal oleh dua orang petugas jaga tersebut karena sering istriku pulang malam seusai mengajar di kampusnya.
“Masuk dulu Pak Deran..!”, terdengar istriku mempersilahkan penjaga malam itu masuk, sementara kudengar bunyi halilintar yang cukup keras dan hujan tiba-tiba turun dengan derasnya.
“Wah hujan ? saya sama Pak Towadi, Bu Yati..!” katanya. “Nggak apa-apa,… masuk saja … lagian hujan deras, pak….!” kata istriku. “Selamat malam, Bu Yati..!” kudengar Pak Towadi memberi salam pada istriku. “Sebentar tak buatkan kopi ..!” kata istriku, kemudian kudengar istriku berjalan menuju dapur di belakang rumah.
“Di, lihat kamu ngga?!” terdengar suara bisikan Pak Deran, “Kamu kacau, Ran?!” balasan suara bisikan Pak Towadi., “Kamu lihat, enggak..?” suara Pak Deran lagi, “Iya, Ran muncul…., kayak penghapus ?” kata Pak Towadi, Rupanya mereka berbisik-bisik mengenai puting susu istriku yang menonjol di balik dasternya, karena malam itu istriku hanya mengenakan camisole di balik dasternya.
“Pantatnya bahenol, lagi….,” lanjut bisikan Pak Deran, “Hus istri orang itu, Ran..!” kata Pak Towadi, “Eeh, ini malam Jum’at, kan..? Pas kuat-kuatnya ilmuku hi hi?!!!” kudengar Pak Deran tertawa ditahan pelan, “Dicoba aja.., yok…, siapa tahu Bu Yati mau…!” kata Pak Deran.
Kuingat Pak Towadi orangnya hitam agak tinggi dengan badan kekar dan Pak Deran orangnya tambun pendek, keduanya berumur 50 tahunan lebih, aku bergidik juga mendengar perkataan mereka mengenai istriku tadi, mereka penduduk asli daerah itu, terkenal sangat doyan dengan perempuan, bahkan mereka pernah bercerita saat aku jaga malam, kalau pernah membuat pedagang jamu yang bertubuh bahenol, yang sering keliling dua minggu sekali di daerah tempat tinggalku, pernah dibuat hampir tak dapat berjalan karena digilir mereka berdua, dimana saat itu pedagang jamu itu masih perawan dan sampai saat bercerita malam itu, pedagang jamu itu masih sering meminta kepada mereka berdua untuk menggilirnya, biarpun sekarang sudah bersuami, katanya tak pernah puas dengan suaminya yang masih muda, bahkan pedagang jamu itu pernah meminta mereka berdua datang ke rumahnya.
“Kalau sudah kena punya kami, pak, …. Waahhh…perempuan pasti malas dengan suaminya dan?..suaminya tak berkutik kalau kami ada, dan membiarkan kami tidur bersama istrinya dalam satu kamar bersama suaminya”, kata Pak Deran terkekeh kekeh malam itu.
Kemudian kudengar suara bisikan mereka lagi….. “Kamu jangan ngaco, Ran. Sudah nanti kelewatan?!” kata Pak Towadi “Keris pusakaku.. ku bawa.. Di…. Ini ..he he he ?!” kata Pak Deran, “kamu jangan, gitu Ran…, orangnya lagian baik…, kasihan suaminya nanti, pinginnya sama kamu aja nanti .. !!” suara Pak Kardi lagi. Karena perasaanku nggak enak akhirnya kuputuskan untuk keluar dan mereka berdua terlihat kaget melihatku, tapi Pak Deran yang membawa keris langsung mencabut kerisnya dan langsung mengarahkan kerisnya padaku dan tiba-tiba gelap menyelimutiku.
Kemudian aku terjaga dan kudapati diriku di tempat tidur kembali, kutoleh pintu kamarku dan kusen kamar dan lantai pintu kulihat seperti membara.
“Eeeecch ?….eeeeccchhh. …eeeeecccchhhh …..!!!! ” kudengar desis istriku dan akupun turun, tubuhku terasa lemas sehingga aku merangkak mendekati pintu kamar dan…… seperti terkena listrik beribu ribu volt saat tanganku memegang kunci kamarku hingga aku tersengkur makin lemas seperti karung bersimpuh di depan pintu kamar yang sedikit terbuka itu.
Aku tak percaya melihat di ruang tamu dari pintu kamar yang terbuka sedikit itu, kulihat istriku berdiri di depan Pak Deran yang membawa selongsong keris sebesar batang kemaluan orang dewasa lebih besar dari lampu TL 40 watt yang ujungnya di arahkan kepada istriku yang berdiri, sedangkan tangan yang satunya seolah memelintir di ujung lainnya yang berbentuk huruf U memanjang itu. Kedua tangan Pak Deran kini memegang pangkal keris yang melengkung itu dan kedua jarinya memelintir ujung nya dan kulihat istriku yang berdiri, tubuhnya bergetas dan kembali mendesis
“Heeeggghhh ?..oooooohhhhhhh. ……ooooooohhh hhhhh…. ..!!!!!” Pak Deran bukan lagi seperti memelintir tapi menarik narik kedua ujung keris berbentuk U itu dan terlihat istriku membusungkan dadanya seperti kedua puting susu nya tertarik ke depan. “Mmm heeeggggh ?..aaaaaaa… .aaaaduuuuuhhhhh h……!! !!!” istriku mendesis panjang dan Pak Deran langsung mengulum salah satu ujung U itu dan …. “Paaak ?.paaakkkk… .jaa…jaaangaaa annnnn ?.paaakkkkk.. ….!!!!! ” suara desis istriku memelas dan tangan kanan istriku secara refleks memegang payudara kanannya, istriku mendesis-desis kembali….. “Ummmppff?. Paakkkk….. jaaa….jaaaaang aaaannnn ? paaaakkkk ?..!!!!” istriku mendesis. Tangan kanan Pak Deran memelintir ujung satunya dan istriku pun memegang kedua payudaranya kembali yang masih terbungkus daster dan camisole nya itu.
“EEecccchhhhhhhgggg hhhhh ??!!!!!!!” istriku mendesah lagi saat Pak Deran memutar selongsong kerisnya sehingga pangkal keris berbentuk U itu berdiri, sementara jari-jari tangan kanannya mengelus-elus pinggiran lubang keris itu dan kulihat pantat bahenol istriku pun bergetar dengan hebat. Pak Deran semakin cepat mengelus dan bahkan menggosok lubang keris itu dan istriku pun mengerang-erang …..
“Paaakk ? paaakkk….suuu. ..suuuuddaaaaahh ? paaakkk ?jangaaan diteruuuuskaaaaan ?.eeeecchghghghghghg h ??.!!!!!”, sementara pantatnya pun bergetar hebat dan kedua tangan istriku memegang pantat bahenol nya yang bergetar hebat saat Pak Deran menjilati lubang keris itu dan pantat bahenol istriku meliuk liuk tak karuan, kedua tangannya meramas pantat bahenol nya sendiri yang mulai maju mundur saat Pak Deran menyedot nyedot lubang keris itu dan bahkan lidah Pak Deran menjilati lubang itu dan….. “Mmmppfffhhh hghghghgghghg ?.” istriku semakin keras mendesis desis, selangkangan nya terangkat angkat dan mendekati ujung selongsong keris ysng tengah disedot sedot dan dijilati lubangnya oleh Pak Deran.
`Paaaak ? sudddaaaah ngngngngngngng hhhheeeghghghghgh??!!!” istriku mendesis kedua matanya tertutup dan selangkangan nya tertarik ke depan hingga selangkangan nya kini mengesek ngesek sarung keris itu.
“Suudddaaaaah paaaak jangaaaaan sudaaah eeeeechghghghg ?.!!!!” istriku terus mendesis desis. Kemudian Pak Deran menghentikan aksinya. “Diii… , elus lubang kerisku ?!!!” kata Pak Deran kepada Pak Towadi yang dari tadi bengong, sementara di pangkal selangkangan nya sudah menggelembung menunjukkan batang kemaluan nya sudah berdiri tegang. Pak Towadi langsung mengelus lubang keris Pak Deran dan kembali…. “Eeeeee….. eeeeee… .eeeeehhhhh. ….eeeecccchhhg hghghg?..! !!!!” istriku mendesis. “Enak Bu Yati….?” tanya Pak Deran yang berdiri dihadapannya dan selangkangan istriku masih menempel di sarung keris itu. Istriku ngga menjawab, diam saja…… “Ooooo.. kurang enak rupanya?!!!” kata Pak Deran kemudian…. .. “Jaaa….jaaaangaaa nnnn….. , paaakkkk…. ..!!!!” rintih istriku memelas, “Singkap dastermu, Buuuu……! !!!” perintahnya. “Paaak …..oooohhhhhh. …jaaa.. ..jaaangaaannn ….paakkkk. …..!!!! ” istriku menghiba. “Ayooo .. nggak usah malu Buuu…. atau biar dia yang mencari jalannya sendiri?!” kata Pak Deran.
Seperti diperintah sarung keris itupun menempel di selangkangan istriku saat Pak Deran melepasnya dan…. “Paak ….jaaa…jaaangaa nnnn…paaaakkkk ?.!!!!” desis istriku saat sarung itu mulai menggosok selangkangannya kembali, sehingga pantatnya pun bergetar kembali. “Dii ?malam ini kita nonton dulu ? biar Mbah Gandul yang nyebokin Bu Yati, malam ini punya dia?lihat Dii ? Bu Yati menaikkan dasternya ? rupanya dia sudah kebelet….” Kulihat istriku mendesis-desis dan mengelinjang, sementara kedua tangannya memegang pantat nya sendiri dan menarik ke atas dasternya pelan-pelan, sehingga mulai tersingkap paha mulusnya.
Semakin lama pantatnya semakin bergetar cepat dan selangkangannya maju mundur oleh gosokan sarung keris yang di sebut Pak Deran, Mbah Gandul itu. Begitu dasternya tersingkap sampai pangkal pahanya, Mbah Gandul langsung menyusup ke selangkangan istriku dan ….. “Mmmmmmpppfff ..eeecchhhh ?..bessaaaar ??oooooohhhhhh. ….!!!” desis panjang istriku. “Sudah, Di , kita keluar biar Bu Yati malam ini milik Mbah Gandul?!!!” kata Pa Deran. “Bu Yati, titip Mbah Gandul yaa, selamat menikmati, besok baru kami,… Oh… ya…., besok kan ibu pulang malam?.nggak usah pake BH dan celana dalam ya kalau pulang, nanti dibungkus dan serahkan ke saya di pos kalau pulang? biar lebih enak ?he he he….!!! ” kata Pak Deran sambil meremas payudara istriku yang berdiri tak berkutik dengan kedua kakinya yang terkangkang. Merekapun keluar meninggalkan istriku yang terbengong.
“Mmmpppff ….oooohhhhh. …beee.. ..besaaar ?aaamaaatttt. …!!!!” rintihnya saat kedua orang itu telah pergi. Istriku pun berusaha duduk di kursi panjang dan rupanya dia berusaha menarik sarung keris itu keluar tapi….. “Mbaaaah uummppfff oooooohhh… aaammmmpuuunnn. ..mmmbaaaahhh. …. ?..!!!” istriku mendesis keras. “ooocch masuukkk ke daalaaam eeeccchh gilaaa uummpppfff heeecchhh gilaaa ?uuuccch geliiii aaaccch koook giniiii rasanyaaaaa uumppppccchh ennnnaaaaakkkkckccc hhhh??!!!” dan kulihat istriku mencengkeram erat sandaran kursi dan pantat nya bergetar keras maju mundur di tempat duduknya dan goyangan pantatnya semakin kencang, sementara keringatnya memebanjir dan nafasnya terengah engah
“Eccchhhghghghg mbaaaaah Gaaanduuull ?. akuuuu keluaaaaar ?.!!!” istriku mengerang saat mencapai orgasme malam itu. Tubuhnya tersungkur miring di kursi panjang dan beberapa saat kemudian kaki nya terkangkang lebar dan tubuhnya bertumpu di kedua tangannya melihat selangkangan nya yang digarap Mbah Gandul kembali itu. Kembali pantatnya bergoyang sementara mulutnya mendesis-desis kenikmatan dan nafasnya memburu keras dan….
“Mbaaah…mmmbbaahh hhh…… ..aaaa… aaaakkuuuuu. .keee…keeeelua aaar lagiiiii ?.!!!!” dia mengerang saat mencapai orgasme keduanya dan pantat nya tersentak-sentak. Kemudian dia duduk kembali dan berusaha berdiri dan berjalan menuju kamar, akupun cepat-cepat rebahan di tempat tidur….
“Mas…maaasss. … bangun,….mass. …!!!!” panggil istriku “Kamu kelihatanya kok kumal dik, tadi… ku dengar ribut-ribut diluar…..! !!” “Maas ?!!!!!” kata istriku tersipu-sipu, sambil memelukku..
Selang seminggu kemudian, kembali Pak Deran dan Pak Towari mendapat giliran tugas jaga Dan seperti kebiasaan yang lalu-lalu, mereka pasti akan mampir kerumahku dengan alasan untuk minum kopi. Sudah sejak jam 7 malam aku masuk kekamar, dengan pura-pura badan merasa ngga enak. Begitulah kira-kira jam 9 malam, terdengar ketukan pada pintu depan dan terdengar istriku yang masih nonton TV diruang tamu membuka pintu depan dan terdengar suara Pa Towari dan Pak Deran… “Selamat bu Yati…. apa bapak masih bangun…?” “Ohh…bapak ngga enak badan dan sudah masuk tidur sejak jam 7 tadi…!!!” terdengar sahutan istriku….. “Oooo…maaf mengganggu, tapi saya hanya mampir sebentar untuk mengambil kopi saja…!!” “Kalau begitu silakan duduk dulu, saya akan menyediakan kopi didapur…!” sahut istriku lagi, sambil berjalan masuk kedalam.
Sesaat kemudian kudengar suara langkah kaki menyusul istriku kedapur dan… “Bu Yati, nggak bilang suami ibu kan mengenai kejadian yang lalu…. ?..!!!” terdengar suara Pak Towadi. Tak terdengar suara jawaban dari istriku. Tak selang kemudian terdengar suara ribut-ribut tertahan dari arah dapur dan……. “Ooooohhhh.. ..jangan. …Jangaan paak ?!!!!!” terdengar suara menghiba “Kenapa, Bu Yati…? diam saja bu….ntar juga pasti enak kok….!!!” suara Pa Towari kembali. “Jangan pak, ampuun paaak ?.!!!” istriku semakin menghiba, kayaknya Pak Towadi semakin mendesaknya, kemudian dengan mengendap-edapa aku turun dari tempat tidur dan mengintip dari celah-celah pintu kamar…. dan….terlihat dengan cepat Pak Towadi melompat dan berdiri diantara kedua kaki istriku yang terkangkang lebar, saat istriku akan mengatupkan kedua kakinya. “Tutup selambunya, Ran…!!!” kata nya ke Pak Deran, dan Pak Deran langsung menutup selambu dan pintu rumah. “Ayo?emut kontolku Bu Yati..” kata Pak Towadi tiba-tiba sambil mengeluarkan penisnya yang agak kecil lemas tapi panjang berbintil- bintil seperti buah pace mendekati mulut istriku.
“Jaaa….jaaangaann nn paaak?.aaampun paaak ??!!!!” istriku terisak sambil memegang pergelangan tangan Pak Towadi yang menyambak rambutnya dan pantat Pak Towadi maju dan batang kemaluannya yang panjang berbintil-bintil semakin dekat dengan mulut istriku. “Lepas rambut saya paaak…!!!” isak istriku dan Pak Towadi melepas jambakannya dan istriku membuka mulutnya yang sudah dekat dengan penis Pak Towadi dan istriku mengulum penis berbintil Pak Towadi. “Sedot Bu Yati ?.wwwuhhh Raan Bu Yati pinter nyedot kontolku ?!!!” kata Pak Towadi ke Pak Deran yang juga mendekati istriku dan “Sudaaah nanti biar Bu Yati sendiri…!! !” katanya, aku tak mengerti maksud kata-kata Pak Deran, kemudian Pak Towadi mencabut penis berbintilnya dari mulut istriku dan mendorong istriku untuk duduk dibangku panjang yang ada di dapur, sementara dia duduk di kiri istriku, sedang Pak Deran dikanan istriku. “Bu Yati? gosok punyakmu sendiri ?!!” kata Pak Deran sambil memegang tangan kanan istriku ke selangkangan nya sendiri.
“Ayooo ?.!!!” kata Pak Deran lirihdan mulailah istriku masturbasi menggosok dan mengocok bibir vaginanya sendiri sampai akhirnya bunyi kecepak terdengar dari selangkangannya. .. “Itilmu Bu Yati…!!!” kata Pak Deran dan istriku mengerang sendiri saat memepermainkan kelentiitnya. “Paaak ?!!!!’ istriku mendesis “Kenapa, Bu Yati…?” tanya Pak Towadi “Paaaak ?.!’ istriku hanya mendesis “Ran Bu Yati mulai naik niih…. ,!!!” kata Pak Towadi dan Pak Deran pun berdiri dan menuju pintu dan membukanya dan masuk kembali memegang tali dan betapa terkejutnya aku saat Pak Deran menarik Tarzan, kontol herdernya yang setia, yang selalu menemani mereka jaga. Istrikupun terkejut sepertiku dan Pak Deran mengunci pintu kembali dan Pak Towadi memegang istriku yang akan lari. “Diaam ?” bentak Pak Towadi “Jangaan paaak ?..” istriku akan mengatupkan kakinya tapi Pak Deran sudah berdiri di depan istriku dan menahan kaki istriku dan Tarzan, langsung menyusup di antara kaki Pak Deran yang menahan kaki istriku dan “Aaaaaauuuuwwwwwww. ……Paaaak ?..!!!!” suara istriku mengerang saat selangkangan nya yang gundul dijilati Tarzan.
Rupanya si Tarzan sudah terlatih merangsang wanita karena istriku memegang pinggang Pak Deran yang berdiri di depan istriku menahan agar kaki istriku tetap terkangkang lebar “Eeeccch eeh eeeeeecchchh ?..wwwuuucccggghhh paaaaak aaaahhcchhchchc ?” istriku mengerang ddan mendesis keras karena jilatan Tarzan di selangkangan nya. “Gimana Ibu Yati? Enak Ibu Yati?” kata Pak Deran terkekeh kekeh “Paaak ampuuunn adduuuuuuccch aaduuucchh mmmppfsss paaaakkkkzzzzz ? eeh eeh eeeh eh eh?.paakk akuuu wwwwwwuucccch ngngngngngng? ..’ istriku mengerang keras dan memegang erat pinggang Pak Deran sedangkan pantat bahenol terangakt angkat saat orgasme ketiganya malam itu meledak dan Tarzan dengan ganasnya terus merangsang kelentit, bibir vagina istriku dan hanya terpaut beberapa menit istriku mengerang kembali saat mencapai orgasmenya yang ke empat dan tubuh istriku pun terjatuh di kursi nafasnya mendengus dengus keringatnya mengalir deras tetapi Tarzan, si kontol herder itu terus merangsang istriku dengan jilatan jilatan mautnya di bibir vagina istriku dan kelentit istriku dan istriku pun mengejang dan mengerang kembali saat oergasmenya ke lima meledak.
Tubuh istriku benar benar lunglai dan Pak Deran membalikkan tubuh istriku yang terkapar di kursi panjang dan menarik kedua kaki istriku yang tertelungkup di lantai dan bertumpu di kedua lututnya sehingga istriku menungging dan Tarzan rupanya sudah siap dan batang kemaluannnya yang merah sudah membesar dan menegang langsung melompat di punggung istriku dan Pak Towadi mengarahkan batang kemaluan Tarzan ke liang vagina istriku dan “MMmmppppfffh paaak jangaaaaan akuuu mnmmmn nn nggaaak mauuu mmmmppfffff .uuuucccch ucccchhh ?!!!!!” istriku mengerang saat batang kemaluan Tarzan menerobos masuk ke liang vagina istriku dan kulihat begitu cepatnya Tarzan mengenjotkan pantatnya sehingga istriku tak lagi dapat mengerang hanya mendesis “wwwhhh wwwwhhhhhw wwhwhhhwhw ?..!!!!” dan bunyi kecepak-kecepak di selangkangan istriku semakin keras “”wwwwhhhhcchh wwwccchhhh ngngngngng ?.!!!” istriku mengejan saat orgasme dan terus entah sampai orgasme yang keberapa hingga tampaknya istriku hampir pingsan.

Rabu, 08 Juni 2011

Asmara Agen Asuransi

Pulang kantor jalanan masih agak macet. Kantorku berada di daerah Harmoni. Pada jam-jam sibuk tentu saja macet total. Langit agak mendung, tapi dugaanku sore sampai malam ini tidak akan turun hujan. Dengan langkah sedang aku keluar kantor dan berjalan ke arah Juanda, rencana naik bis dari sana saja. Maklum karyawan baru, jadi masih naik Mercy dengan kapasitas besar.
Sampai di Juanda aku cari bis kota tujuan ke Senen. Sebentar kemudian datang bis kota yang sudah miring ke kiri. Aku naik dan menyelinap ke dalam. Aroma di dalam bis sungguh rruarr biasa. Segala macam aroma ada di sana. Mulai dari parfum campur keringat sampai bau asap dan lain-lainnya.
Tak lama aku sampai di Senen. Turun di Pasar Senen dan masuk ke dalamnya. Ada beberapa barang yang harus kucari. Putar sana putar sini nggak ketemu juga yang kucari. Malahan digodain sama kapster-kapster di salon lantai 2. Dengan kata-kata yang menjurus mereka merayuku untuk masuk ke salonnya. Kubalas saja godaan mereka, toh aku juga lagi nggak ada keperluan ke salon. Sekedar membalas dan menyenangkan mereka yang merayu untuk sekedar gunting, facial atau creambath.
Akhirnya kuputuskan untuk cari di Atrium saja. Aku nyeberang di dekat jembatan layang. Memang budaya tertib sangat kurang di negara ini. Senangnya potong kompas dengan mengambil resiko.
Baru saja kakiku melangkah masuk ke dalam Atrium, mataku tertuju pada seorang wanita setengah baya, kutaksir umurnya tiga puluh lima tahun. Ia mengenakan blazer hijau dengan blouse hitam. Pandangannya kesana kemari dan gelisah seolah-olah menunggu seseorang. Aku lewat saja di depannya tanpa ada suatu kesan khusus. Sampai di depannya dia menyapaku.
“Maaf Mas mengganggu sebentar. Jam berapa sekarang?” tanyanya halus. Dari logatnya kutebak dia orang Jawa Tengah, sekitar Solo.
“Aduh, sorry juga Mbak, saya juga tidak pakai jam,” sambil kulihatkan pergelangan tanganku.”Mbak mau kemana, kok kelihatannya gelisah?” tanyaku lagi.
“Lagi tunggu teman, janjian jam setengah lima kok sampai sekarang belum muncul juga” jawabnya.
“Ooo..” komentarku sekedar menunjukkan sedikit perhatian.
“Mas mau kemana, baru pulang kantor nih?” dia balik bertanya.
“Iya, mau beli sesuatu, tadi cari di Proyek nggak ada, kali-kali aja ada di Atrium”.
Akhirnya meluncurlah dari mulut kami beberapa pertanyaan basa-basi standar.
“Oh ya dari tadi kita bicara tapi belum tahu namanya, saya Vera,” katanya sambil mengulurkan tangan.
“Anto,” sahutku pendek, “OK Vera, saya mau jalan dulu cari barang yang saya perlukan”.
“Silakan, saya masih tunggu teman di sini, barangkali dia terjebak macet atau ada halangan lainnya”.
Kami berpisah, saya masuk ke dalam dan langsung ke Gunung Agung. Kulihat Vera masih menunggu di pintu Atrium. Setengah jam keliling Gunung Agung ternyata tidak ada barang yang kucari. Kuputuskan pulang saja, besok coba cari di Gramedia atau Maruzen. Aku keluar dari pintu yang sama waktu masuk, arah ke Proyek. Kulihat Vera masih juga berdiri di sana. Kuhampiri dia dan kutanya.
“Masih ada disini, belum pulang?”.
“Ini mau pulang, besok aja kutelpon dia ke kantor,” jawabnya.
Waktu itu, 1994, HP masih menjadi barang mewah yang tidak setiap orang dapat memilikinya.
“Mbak naik apa?”
“Oh, saya bawa mobil sendiri, meskipun butut”.
“OK, kalau begitu saya pulang, saya naik Mercy besar ke Kampung Melayu”.
Dia kelihatan agak berpikir. Baru pada saat ini aku mengamati dia dengan lebih teliti. Tingginya kutaksir 158 cm, kulitnya kuning kecoklatan, khas wanita Jawa dengan perawakan seimbang. Rambutnya berombak sebahu, matanya agak lebar dan dadanya standar, 34.
“Kenapa, something wrong?” kataku.
“Nggak, nggak aku juga mau jalan lagi suntuk. Rumah saya di Cinere, jam segini juga lagi full macet” sambil memandangku dengan tatapan yang sulit kutafsirkan.
“Boleh saya temani,” sahutku asal saja. Jujur aku hanya asal berkata saja tanpa mengharap apapun. Dia menatapku sejenak dan akhirnya..
“Boleh saja, kalau nggak mengganggu” jawabnya.
Kami menuju basement tempat parkir mobilnya. Dia memberikan kunci mobilnya padaku.
“Bisa bawa mobil kan?” tanyanya.
Aku terkejut, karena aku memang bisa nyetir mobil tapi masih belum lancar sekali dan tidak punyai SIM.
“Aduh, so.. Sorry, jangan aku yang bawa. Aku nggak punya SIM,” kataku mengelak.
“Baiklah kalau begitu, biar aku sendiri yang bawa,” katanya sambil tersenyum.
Vera naik mobil dan membukakan pintu sebelah kiri depan dari dalam. Mobilnya Suzuki Carry warna merah maron. Kulihat di atas jok tengah berserakan map dan kertas.
“Kemana kita?” katanya.
“Terserah ibu sopir saja, asal jangan ke Bogor, jauh” sahutku bercanda.
“Kita ke Monas saja deh” katanya sambil terus tetap menyetir.
Karena dia mengenakan rok span selutut, jadinya waktu duduk menyetir agak ketarik ke atas, pahanya terlihat sedikit. Aku menelan ludah.
Monas terlihat sepi sore ini, jam di dashboard menunjukkan 17.55. Hanya ada beberapa mobil yang parkir di pelataran parkir. Vera memarkir mobilnya agak jauh dari mobil lainnya. Ia mematikan kontak dan membuka jendela. Kami tetap duduk di dalam mobil.
“Uffh, hari yang melelahkan”. Vera menyandarkan tubuh dan kepalanya pada jok mobil. Blazernya tidak dikancingkan sehingga dadanya kelihatan menonjol.
“Ngomong-ngomong Mas Anto ini kerja di mana?”
“Karyawan swasta, kantornya di Harmoni, Mbak Vera sendiri di mana?” balasku.
“Saya agen sebuah Asuransi BUMN, rencananya tadi dengan teman saya, Dewi, akan prospek di sebuah kantor di Kramat, makanya janjian di Atrium. Eh, dianya nggak datang. Eh, bagaimana kalau kita masing-masing panggil dengan nama saja tanpa sebutan basa-basi supaya lebih akrab. Toh umur kita nggak jauh berbeda. Aku tiga puluh lima, kutaksir kamu paling-paling tiga puluh”.
Ternyata taksiranku tepat, taksirannya meleset. Waktu itu umurku sendiri baru dua puluh lima. Mungkin karena warna kulitku agak gelap dan berkumis maka wajahku kelihatan lebih tua. Tapi menurut teman-temanku baik perempuan ataupun laki-laki, dengan wajah cukup ganteng, tinggi 170 cm, perawakan tegap, berkumis dan dada berbulu aku termasuk idaman wanita.
Vera ternyata seorang janda dengan satu anak. Ketika kutanya kenapa dia bercerai, air mukanya berubah dan ia menghela napas panjang.
“Sudahlah, itu kenangan buruk dari masa laluku, tak usah dibicarakan lagi” katanya.
“Baiklah, maaf kalau sudah menyinggung perasaanmu,” kataku.
Senja semakin merambat, lampu jalan sudah mulai dinyalakan mengalahkan temaram senja. Di bawah lampu merkuri wajah Vera terlihat pucat. Tiba-tiba saja kami bertatapan. Vera terlihat sangat lelah, tapi bibirnya dipaksakan tersenyum. Entah bagaimana mulanya tiba-tiba saja tangan kananku sudah kulingkarkan di lehernya dan kurengkuh ia ke dalam pelukanku. Kucium bibir tipisnya dan ia membalasnya dengan melumat bibirku lembut. Kami saling memandang dan tersenyum.
“Anto, maukah kamu menemaniku ngobrol?”
“Lho, bukankah sekarang ini kita lagi ngobrol”.
“Maksudku, kita cari.. Nggh.. Tempat yang tenang”.
Kucium bibirnya lagi dan ia membalas lebih panas dari ciuman yang pertama tadi. Tanpa kujawab mestinya ia sudah tahu.
“Ayo kita berangkat,” ajaknya sambil menghidupkan mesin mobil.
“Baiklah kita ke arah Tanah Abang saja yuk,” jawabku.
Dari Monas kami menuju ke Tanah Abang. Kami sempat terjebak kemacetan di sekitar Stasiun Tanah Abang. Akhirnya kuarahkan dia ke Petamburan. Kulihat dia ragu-ragu untuk masuk ke halaman sebuah hotel.
“Ayolah masuk saja, nggak apa-apa kok. Hotelnya cukup bersih dan murah” kataku meyakinkannya.
“Bukan apa-apa. Aku hanya tidak ingin mobilku terlihat secara mencolok di halaman hotel” sahutnya. Akhirnya kami mendapatkan tempat parkir yang cukup terlindung dari jalan umum.
Setelah membereskan urusan di front office, kami masuk ke dalam kamar. Kuamati sejenak keadaan di dalam kamar. Di dinding sejajar dengan arah ranjang dipasang cermin selebar 80 cm memanjang sepanjang dinding. Aku tersenyum dan membatin rupanya hotel ini memang dipersiapkan khusus untuk pasangan yang mau kencan.
“Kamu sering masuk ke sini, To? Kelihatannya sudah familiar sekali” tanyanya.
“Nggak juga. Namanya nginap di hotel kan tahapannya standar aja. Lapor ke front office, serahkan ID, bayar bill untuk semalam lalu ambil kunci kamar. Beres kan?”
“Kalau lagi prospek, bagaimana pengalamanmu. Sering dijahili klien nggak” tanyaku memancing.
“Yahh, ada juga yang iseng. Tapi kalau orangnya oke, boleh juga sih. Sudah dapat komisi plus tip plus enak gila”.
Ternyata beginilah salah satu sisi dunia asuransi. Saya nggak menghakimi, tetapi semua itu kembali tergantung pada orangnya.
“Aduh, kalau begitu saya nggak bisa kasih tip. Kita pulang saja yuk” kataku pura-pura serius.
“Huussh.. Kamu kok nganggap saya begitu sih”.
Kami berbaring berjejer di ranjang yang empuk. Vera tengkurap di sebelahku dan menatapku sejenak, lalu ia mendekatkan mukanya ke mukaku dan mencium bibirku. Aku membalas dengan perlahan. Vera terus menciumiku sambil melepas blazernya. Kaki kirinya membelit kakiku. Tangannya merayap di atas kemejaku dan mulai melepas kancing serta menariknya sehingga dadaku terbuka. Vera semakin terangsang melihat dadaku yang berbulu. Ia membelai-belai dadaku dan sekali-sekali menarik perlahan bulu dadaku.
“Simbarmu iku lho To, bikin aku.. Serr” bisiknya. Simbar adalah sebutan bulu dada dalam bahasa Jawa.
“Mandi dulu yuk” kataku.
“Nggak usah, nanti aja. Bau tubuhmu lebih merangsang daripada bau sabun bahkan parfum” katanya.
Bibirnya bergeser ke bawah dan kini ia menciumi leherku. Aku menggelinjang kegelian sekaligus nikmat. Napas kami mulai berat dan memburu. Sambil terus menciumi dadaku, Vera melepaskan blousenya. Kulihat buah dadanya yang masih kenyal dan padat terbungkus bra warna merah jambu. Seksi sekali. Tangannya bergerak ke bawah, membuka kepala ikat pinggangku, melepas kancing celana dan menarik ritsluitingku dan langsung menariknya ke bawah. Aku sedikit mengangkat pantatku membantu gerakan tangannya membuka celanaku. Kini tangannya bergerak ke belakangnya, tidak lama kemudian roknya sudah merosot dan hanya dengan gerakan kakinya rok tersebut sudah terlepas dan terlempar ke lantai.
Tangan kananku bergerak ke punggungnya dan terdengar suara “tikk” kancing pengait branya sudah terlepas. Aku melepas branya dengan sangat perlahan sambil mengusap-usap bahu dan lengannya. Vera mengangkat tangannya dari tubuhku dan akhirnya terlepaslah bra merah jambu yang dipakainya. Buah dadanya berukuran sedang, taksiranku 34 saja, terlihat kenyal dan padat. Urat-uratnya yang membiru di bawah kulit terlihat sangat menarik seperti alur sungai di pegunungan. Putingnya yang merah kecoklatan menantangku untuk segera mengulumnya. Payudara sebelah kanan kuisap dan kukulum, sementara sebelah kirinya kuremas dengan tangan kananku, demikian berganti-ganti. Tangan kiriku mengusap-usap punggungnya dengan lembut.
Vera mengerang dan merintih ketika putingnya kugigit kecil dan kujilat-jilat.
“Ououououhh.. Nghgghh, Anto teruskan.. Ouuhh.. Anto”
Payudaranya kukulum habis sampai ke pangkalnya. Vera menghentakkan kepalanya dan menjilati telingaku. Akupun sudah merangsang hebat. Senjataku sudah mengeras dan kepalanya sudah nongol di balik celana dalamku. Vera melepaskan diri dari pelukanku dan kini ia yang aktif menjilati dan menciumi tubuhku bagian atas. Dari leher bibirnya menyusuri dadaku, menjilati bulu dadaku dan..
“Oukhh, Vera.. Yachh.” aku mengerang ketika mulutnya menjilati puting kiriku. Kini bibirnya pindah ke puting kananku. Aku mendorong tubuhnya, tak tahan dengan rangsangan pada puting kananku.
Vera semakin ke bawah, ke perut dan terus ke bawah. Digigitnya meriamku yang masih terbungkus celana dalam. Tangannya juga bergerak ke bawah, menarik celanaku sampai ke lutut dan akhirnya menariknya ke bawah dengan kakinya. Aku tinggal memakai kemeja saja yang kancingnya juga terbuka semua.
Vera memandangku dan mengangguk ketika kepalanya ada di atas selangkanganku. Aku juga mengangguk. Aku memang tidak pernah meminta wanita yang kutiduri untuk melakukan oral sex. Aku sendiri tidak terlalu suka melakukan oral sex pada setiap wanita. Ada type-type wanita tertentu yang kuberikan service khusus ini. Jika mereka mau melakukannya biarlah mereka yang berinisiatif. Kepalanya kemudian bergerak ke bawah. Ia mengisap-isap buah zakarku dan menjilatinya sampai ke titik 2 cm di dekat anusku. Aku baca titik itu adalah titik Kundalini. Aku tidak tahan dengan perlakuannya. Kututup mukaku dengan bantal. Kugigit bibir bawahku sampai terasa sakit.
Tiba-tiba meriamku seperti kena setrum yang besar ketika lidah Vera menjilat kepalanya. Secara refleks kukencangkan otot perutku sehingga meriamku juga ikut bergerak-gerak. Punyaku memang tidak terlalu besar. Rata-rata saja untuk ukuran umum, namun ternyata beberapa wanita yang pernah merasakannya sangat puas. Kulepas bantal yang menutup mukaku dan kubuka mataku. Kulihat Vera dengan asyiknya menjilat, menghisap dan mengulum meriamku. Kadang-kadang ia melihat ke arahku dan tersenyum kecil. Aku terpekik kecil setiap lidahnya yang runcing menjilat lubang kencingku. Syaraf-syarafku di sana terasa mau putus.
Vera melepaskan kepalanya dari selangkanganku dan tangannya melepas celana dalamnya sendiri dengan cepat. Kembali bibirnya menyambar bibirku. Kubalas dengan ganas dan kudorong lidahku menggelitik rongga mulutnya. Lidahku kemudian diisapnya dengan kuat. Aku hampir tersedak. Tangannya mengembara ke selangkanganku dan kemudian meremas dan mengocok meriamku. Meriamku semakin tegang dan keras.
“Ouououhhkk.. Puaskan aku. Berikan aku kenikmatan” ia memekik tertahan.
Tidak lama kemudian tangannya memegang erat meriamku dan kurasakan pantat dan pinggul Vera bergerak-gerak menggesek meriamku. Dan kemudian.. Blesshh. Kepala meriamku masuk ke dalam gua kenikmatannya. Terasa lembab namun masih kering dan sempit. Kurasakan dinding guanya berdenyut-denyut meremas kemaluanku.
“Akhh.. Oukkhh” Vera mendongakkan kepalanya dan kujilati lehernya yang berada di depan wajahku. Ia terus menggoyangkan pantatnya sehingga sedikit demi sedikit makin masuk dan akhirnya semua batang meriamku sudah terbenam dalam guanya.
Vera menahan tubuhnya dengan kedua tangannya di sampingku. Pantatnya bergerak maju mundur untuk menangguk kenikmatan. Kadang gerakannya berubah kadang menjadi ke kanan ke kiri dan kadang berputar-putar. Sesekali gerakannya menjadi pelan dan pantatnya naik agak tinggi sehingga hanya kepala meriamku berada di bibir guanya dan bibir guanya kemudian berkontraksi mengurut kepala meriamku. Kemudian ia hanya pelan menggesek-gesekkan bibir guanya pada kepala meriamku sampai beberapa kali dan kemudian dengan cepat ia menurunkan pantatnya hingga seluruh batang meriamku tenggelam seluruhnya. Ketika batang meriamku terbenam seluruhnya badannya bergetar dan kepalanya bergoyang ke kanan dan kekiri. Napasnya mulai tersengal-sengal dan memburu.
Kunaikkan punggungku dengan bertopang pada siku. Kuisap puting buah dadanya yang sudah membatu. Gerakannya semakin liar dan berat. Tanganku kini memeluk punggungnya seolah-olah seperti menggantung pada badannya. Kulengkungkan bagian atas tubuhku mendekat ke tubuhnya. Berat badanku kutumpukan pada punggungku.
Tangannya yang menahan berat badanya kemudian dilepaskan dan memeluk diriku rapat-rapat. Kini gerakannya pelan namun sangat terasa. Pantatnya naik ke atas kadang sampai meriamku lepas, namun kemudian ia menurunkan lagi dengan pelan dan kusambut dengan gerakan pantatnku ke atas. Kembali meriamku menembus guanya, guanya berdenyut sehingga seluruh batang meriamku mulai dari pangkal hingga ke ujung seperti diurut. Baru kali ini aku merasakan denyutan dinding vagina yang begitu kuat. Ada beberapa wanita yang bisa melakukannya namun kali ini benar-benar luar biasa. Melebihi wanita Madura yang pernah kurasakan. Aku sendiri belum mengerahkan otot kemaluanku untuk berkontraksi, kubiarkan saja sampai ia mencapai puncak terlebih dahulu.
Tangannya meremas dan menjambak rambutku, punggungnya melengkung menahan kenikmatan. Mulutnya merintih dan mengerang keras. Kupikir mungkin terdengar sampai keluar kamar. Emangnya gua pikirin! Paling yang dengar jadi kepengin.
“Anto.. Ouhh Anto, aku mau nyampai, aku mau kelu.. ar”
“Sshh.. Shh”
“Anto sekarang ouhh.. Sekarang” ia memekik.
Tubuhnya mengejang rapat diatasku dan kakinya membelit kakiku. Mulutnya mencari-cari bibirku dan kusambar agar ia tidak merintih terlalu keras lagi. Vaginanya berdenyut kuat sekali dan pantatnya menekan ke bawah dengan keras hingga meriamku terasa sakit. Vaginanya terasa becek, namun tidak menyembur seperti yang banyak diceritakan orang. Kupikir mereka itu pembohong kalau menceritakan orgasme wanita yang sampai memancar seperti air mani. Kupeluk punggungnya dan kuurut dengan kuat mulai dari belakang leher sampai ke pinggangnya.
Tubuh Vera mulai melemas di atas badanku. Keringatnya menitik di sekujur pori-porinya. Kemaluanku yang masih menegang keras di dalam vaginanya. Vera sepertinya sengaja membiarkannya dalam posisi seperti itu.
“Terima kasih Anto. Kau sungguh hebat sekali. Aku nggak tahan lagi” ia berbisik di telingaku.
Aku diam saja sambil mengelus-elus punggungnya. Kuciumi rambutnya. Kupikir akan kupuaskan dia sampai tak bertenaga.
Akhirnya Vera bangun setelah napasnya teratur menghela napas dalam-dalam. Ia masuk ke dalam kamar mandi dan kudengar suara shower. Namun kedengarannya ia tidak mandi, hanya membasuh vaginanya saja. Sementara aku mencoba memejamkan mata sebentar untuk berkonsentrasi dan mengumpulkan tenaga. Ia keluar sambil menenteng gayung, sabun dan handuk. Dengan perlahan ia membasuh dan membersihkan kemaluanku yang masih agak tegang karena belum mencapai puncaknya. Karena terkena air, maka kemaluanku kontan saja mengkeret dan mengecil ke ukuran normal. Vera kembali ke dalam kamar mandi mengembalikan gayung dan sebentar keluar lagi.
Aku duduk menyelonjorkan kaki di atas ranjang dan merapikan kemeja yang tetap kupakai selama bercinta babak pertama tadi. Vera memelukku dari belakang dan menciumi tengkukku. Aku merinding oleh ciumannya. Tangannya mempermainkan bulu dadaku. Kelihatannya ia sangat suka.
Vera menarik kemeja yang kukenakan dan akhirnya sekarang aku bugil 100%. Dadanya yang keras menekan punggungku. Kuputar tubuhnya sedemikian sehingga kami berhadapan. Kucium bibirnya dan kuremas buah dadanya. Ia merintih, nafsunya mulai bangkit. Kubalikkan lagi tubuhnya sehingga membelakangiku. Kuciumi tengkuk, cuping telinga dan leher belakangnya.
“Ouhh jangan kau siksa aku.. Ayo kita lanjutkan lagi say..”
Kami kembali berbaring miring ke kiri dalam posisi Vera tetap membelakangiku. Kuremas dadanya dengan kuat, kupilin putingnya. Kemaluanku yang belum menembakkan pelurunya dengan cepat mengeras kembali. Mulutnya mencari bibirku ketika bibirku menjilati lehernya pada bagian samping. Kami berciuman dalam posisi miring.
Kuangkat kaki kanannya dan kucoba memasukkan kemaluanku ke dalam vaginanya dari belakang. Beberapa kali kucoba dan gagal. Akhirnya Vera mencondongkan pantatnya dan menjauhkan tubuh bagian atasnya dari tubuhku. Dalam posisi demikian aku bisa menembus guanya meskipun dengan berjuang keras.
Kudorong pantatku maju mundur dengan pelan tapi bertenaga. Meskipun tanpa kontraksi dalam posisi demikian terasa sempit sekali vaginanya. Kuputar tubuhnya hingga ia berada di atasku. Dari bawah kugenjot vaginanya. Kupikir tadinya akan mudah, ternyata sangat sulit. Tubuhku tidak bisa bergerak dengan leluasa. Vera mengerti kesulitanku. Ia melepaskan pelukanku dan berjongkok tetap membelakangiku. Tak berapa lama kembali ia memainkan kontraksi otot vaginanya. Aku tetap membiarkannya ia kontraksi sendirian.
Vera menaikturunkan pantatnya dan rasa nikmat menjalari tubuh kami berdua. Kadang pantatnya menggantung dan giliranku untuk memompa dari bawah. Demikian dalam posisi ini kami bertahan beberapa saat sampai akhirnya.
“Gila kamu To, aku keluar lagi.. Oukhh”
Ia berteriak dan melengkungkan badannya, lalu merebahkan badannya telentang dan menekan kemaluanku sampai amblas. Tangannya mencengkeram sprei. Sunyi sejenak tanpa ada suara apapun kecuali napas Vera yang terengah-engah. Vera memutarkan tubuhnya tanpa melepaskan kemaluanku, sehingga ia dapat berada dalam posisi berhadapan di atasku.
“Luar biasa kamu Anto, aku puas sekali malam ini”
“Aku yang belum puas, kini giliranku mendapatkan kepuasan”.
Kugulingkan badannya sehingga kini aku yang berada di atas mengendalikan permainan. Kusodokkan kemaluanku ke dalam kemaluannya dengan satu hentakan keras sehingga ia melenguh.
“Uuuhh.. Tahan dulu To, aku masih lelah” katanya.
Aku tak pedulikan permintaannya, tetap kusodokkan kemaluanku dengan pelan dan mantap sampai akhirnya kemaluanku menjadi sangat keras. Vera akhirnya kembali terangsang setelah beberapa saat kugerakkan kemaluanku. Kucabut kemaluanku, kutahan dan kukeraskan ototnya kemudian pelan-pelan kugesekkan dan kemudian kumasukkan kepalanya saja ke bibir guanya yang lembab dan merah. Vera terpejam menikmati kontraksi kemaluanku pada bibir kemaluannya.
“Kenapa dari tadi nggak kau mainkan.. Hggk”.
Dia menjerit tertahan ketika tiba-tiba kusodokkan kemaluanku sampai mentok ke rahimnya. Kumaju mundurkan dengan pelan setengah batang sampai beberapa hitungan kemudian kusodokkan dengan kuat sampai semua batangku amblas. Vera menggerakkan pinggulnya memutar dan naik turun sehingga kenikmatan yang luar biasa sama-sama kami rasakan. Kusedot payudaranya sampai ke pangkalnya dan kumainkan putingnya dengan lidahku.
Dalam posisi kemaluanku terbenam seluruhnya aku diam di atas tubuhnya, menciumi bibir, leher dan payudaranya serta menggerakkan otot kemaluan. Hasilnya luar biasa. Vera seperti orang yang mau menangis menahan kenikmatan hubungan ini. Vera mengimbanginya dengan kontraksi pada dinding vaginanya. Ia meringis dan memukul-mukul dadaku seperti histeris.
“Auuhkhh.. Terus.. Teruskan.. Anto.. Nikmat.. Ooh”
Kini kakiku berada di luar kedua kakinya sehingga kedua kakiku menjepit kakinya. Masih tetap dalam posisi diam, hanya otot kemaluan yang bekerja. Ternyata vaginanya memang luar biasa, meskipun sudah becek namun cengkeramannya masih sangat ketat.
Aku menghentikan kontraksiku dan mulai menggenjot lagi. Vera seperti seekor kuda betina yang melonjak-lonjak tubuhnya dan sukar dikendalikan. Akhirnya tidak ada suara apapun di dalam kamar itu selain desah napas kami yang memburu beradu dengan suara paha bertemu dan derit ranjang. Keringat sudah membanjir di tubuh kami. Kupacu kuda binalku mendaki lereng terjal yang penuh kenikmatan. Kami saling memagut, mencium dan menjilat bagian tubuh lawan bergumul.
Kubuka lagi kedua kakinya, kini kakinya yang membelit pinggangku. Matanya kadang terpejam kadang terbeliak. Badannya seperti menggantung di tubuhku. Kini aku siap untuk menembakkan peluruku.
“Vera, sebentar lagi Ver.. Aku mau keluar”.
“Tungu sayang, kita sama-sama, tunggu..”.
.. Beberapa saat kemudian..
“Sekarang Ver sekarang.. Ouuhh” Aku mengejang ketika lahar kepuasan membersit dari kepundan kejantananku.
“Anto.. Agghh” kakinya menjepit kakiku dan mengejang sehingga kejantananku seperti tertarik mau keluar.
Aku tetap menahan agar kemaluanku tetap berada dalam vaginanya. Matanya terpejam, tangannya meremas rambutku, mulutnya menggigit dadaku. Kemaluan kami saling berdenyut sehingga kenikmatan puncak ini terasa sampai beberapa detik. Setelah beberapa saat kemudian keadaan menjadi tenang.
“Luar biasa kamu To, Aku bisa tiga kali orgasme”
“Kamu juga hebat, empot ayammu membuat ketagihan”
Akhirnya kami membersihkan diri dan check out. Sebelum keluar kamar kami saling bertukar nomor telepon. Aku menumpang mobilnya sampai di Gatot Subroto dekat Hilton. Vera ke arah Blok M dan aku ke kawasan Jakarta Timur.
Beberapa hari kemudian di kantor aku dikejutkan suara operator yang nongol di ruanganku.
“Pak Anto ada telepon dari asuransi, line 2,” katanya.
“Thanks”.
Kuambil gagang telepon, “Hallo, siang” kataku.
“Hai Anto ingat aku?” terdengar suara dari seberang.
“Oh tentu, kuda binalku. Ada apa?”
“Kemarin habis nurunin kamu, ban mobilku kempes, untung ada yang nolongin”
“Habis kamu nyetirnya terlalu bernafsu, injak gas nggak kira-kira” kataku. Apa hubungannya gas dengan ban kempes ya?
“Nanti sore ketemu lagi ya. Aku sudah nggak sabar menanti hasil kerjamu”
Nanti sore kupikir boleh juga. Hari ini nggak banyak pekerjaan kok. Cerita kejadian nanti sore pikir dan bayangkan saja sendiri.
E N D

Asmara Penjaga Apotik

Kisah ini merupakan flashback semasa bujang. Terus terang saja, aku menikah di usia 30 tahun. Sewaktu awal dua puluhan rasanya tidak ada cewek yang berhasil kupikat. Tapi sejak usia 25 tahun hingga menikah, aku menyadari di dalam diriku tercipta suatu daya pikat alami. Tidak perlu susah-susah cari jimat atau pelet, ada gadis yang secara agresif mengejarku, ada pula yang pasang signal untuk kemudian menyerahkan diri. Salah satunya adalah Lola, pramuniaga apotik di dekat rumahku.

Sebenarnya ada lebih dari tiga apotik di sekitar rumahku. Apotik ‘XX’ adalah yang tertua di sini. Selain harga obatnya murah, terus terang yang bikin lengket adalah pramuniaga yang langsing, cantik nan murah senyum, yang kemudian kuketahui bernama Lola.
Setelah berulang kali dilayani gadis kuning langsat dengan senyum menggoda ini, aku memberanikan diri mengajaknya berkenalan ketika apotiknya sedang sepi.
“Boleh kenalan? Namaku Bandi,” ujarku sambil mengulurkan tangan.
“Saya Lola,” jawabnya singkat sambil menyambut uluran tanganku dengan tangannya yang berkulit halus nan lembut.
Matanya menatap tajam, penuh percaya diri mengiringi senyum manis yang selalu terpancar diwajahnya.
Aku berusaha mengarahkan pandangan mataku untuk tetap mengarah ke wajahnya. Padahal dorongan hati ini sebenarnya ingin melabuhkan pandanganku ke bukit kembarnya yang kutaksir berukuran 36B. Apalagi dia sedang memakai t-shirt ketat. Yahh, sekali-sekali tetap saja kucuri pandang juga keindahan tubuh gadis yang kutaksir berumur dua puluhan ini.
“Sudah berapa lama kerja di sini?” ujarku memperpanjang perbincangan.
“Mumpung cuma kami berdua di ruangan depan apotik ini,” pikirku.
“Baru setahun.”
“Dari daerah..?”
“Iya, kok tahu..?”
“Logatnya kan kelihatan dari Jawa.” Lalu kusambung dengan cepat, “Aku juga dari Jawa.”
“Ah, nggak ada logat Jawanya.. Nggak percaya..”
“Kalo lagi ngumpul sama temen-temen dari Jawa, logatku keluar.”
Lalu, untuk meyakinkan Lola, aku pun mengajaknya bicara dengan bahasa dan logat Jawa. Dari obrolan singkat yang membuat kami menjadi lebih akrab secepat kilat ini, kuketahui dia tinggal di lantai dua dari ruko yang dijadikan apotik tersebut. Usianya ternyata baru duapuluh satu.
Malam itu juga kutelpon dia setelah apotik itu tutup.
“Halo, apotik ‘XX’..?”
“Ya betul.. tapi apotiknya sudah tutup Pak..,” kudengar suara Lola di ujung sana.
“Oh nggak apa-apa. Saya cuma mau bicara sama Jeng Lola.”
“Mmm.. dari siapa ya..?” terdengar nada keraguan.
“Wahh, baru juga kenalan kok udah lupa..” aku mencoba menggoda.
“Ohh, Mas Bandi. Ada apa Mas..? Kangen sama Lola..?” katanya menggoda balik setelah berpikir sejenak menebak suaraku.
“Wah, berani juga ini cewek,” pikirku.
“Iya nih.. abis di sini cuma berdua sama pembantu.”
“Asyik dong..!”
“Wong pembantuku udah nenek-nenek..”
“Masa sih..? Boong nihh..!”
“Beneran.. Kapan-kapan main ke sini dong..! Biar tahu kalo pembantuku memang udah STW.”
Setelah ngobrol sana-sini, akhirnya perbincangan di telpon ini kami tutup dengan janjian nonton di Studio 21 Sabtu malam.
Hari yang dinanti-nanti akhirnya tiba. Keluar dari ruko tempat kerja sekaligus kost ini, Lola dengan mesra menggamit lenganku menuju mobil yang kuparkir di tepat depan apotik ‘XX’. Tanganku yang direngkuh Lola terasa menyentuh bagian tepi payudaranya yang menantang itu. Serr, gairahku terpancing walau hanya sebentar saja sentuhan daging kenyal yang menggoda itu kurasakan.
Di dalam bioskop, Lola lebih berani lagi. Ia menyandarkan kepalanya ke lenganku. Tangannya pun segera diletakkan di atas selangkanganku, ketika tanganku mulai mengelus dan meremas lengannya dengan lembut. Tidak lama kemudian tangannya mengelus dan menggosok-gosok bagian luar celanaku. Tentu saja tongkat di bawah celanaku segera mengeras.
“Hati-hati, nanti basah..,” aku berbisik kepada Lola.
“Biarin,” Lola berbisik menggoda sambil mencubit pahaku.
Ternyata Lola tidak bertindak lebih jauh. Ia hanya menikmati kerasnya kelelakianku dari sebelah luar celanaku. Aku pun tidak berani berbuat terlalu jauh, hanya meremas-remas lengannya, sambil sesekali mencium pipi dan lehernya yang jenjang di tengah kegelapan bioskop. Beruntung kami duduk di bagian paling belakang.
Pulang dari bioskop, pikiranku mulai kacau. Beragam khayalan muncul menggoda. Apalagi Lola makin merapatkan badannya, seolah kami ini pasangan yang sudah pacaran lama saja.
“Mau langsung pulang atau putar-putar dulu..?”
“Mmm.. putar-putar juga boleh.”
“Mau ke Ancol..?” aku coba memancing reaksinya.
“Ayo aja..”
Mobil pun mengarah ke Ancol. Langsung kuparkir ke tepi laut, seperti mobil-mobil yang lainnya. Jantungku mulau berdegup kencang membayangkan hal-hal yang akan terjadi kalau Lola tidak menampiknya.
Kami mendorong sandaran kursi kami ke belakang, sehingga lebih santai. Aku mencoba mengambil inisiatif. Kudekatkan wajahku ke wajah Lola, kuarahkan bibirku ke bibirnya yang merah merekah. Aku pun segera mendaratkan bibirku, melumat bibirnya yang menggoda. Lola memejamkan matanya, menikmati rangsangan dan gejolak birahi yang timbul saat bibir kami saling melumat. Nafasnya terdengar mulai memburu.
Kuusapkan tanganku ke bra-nya sambil meremas lembut. Lola segera membantuku dengan membuka bra-nya, sehingga tanganku bergerak bebas merengkuh kedua bukit kembarnya yang menantang polos di balik blus tanpa lengan yang sudah tersingkap. Kuusap-usap putingnya dengan telapak tanganku. Sesekali aku memilinnya dengan telunjuk dan ibu jariku. Selebihnya aku lebih banyak meremas lembut payudara yang selama ini mengoda mataku saat main ke apotik tempatnya bekerja.
Tidak lama kemudian kuarahkan bibirku ke puting susunya yang sudah mengeras.
“Ahh.. Emhh..” erangan Lola makin membangkitkan gairah dan semangatku.
Lola sangat menikmati setiap gejolak birahinya. Seperti inilah tipe wanita kesukaanku. Tidak terlalu agresif dan cenderung menikmati permainanku. Aku sangat menikmati ekspresi kenikmatan pasanganku. Aku kurang menyukai cewek yang berlaku aktif saat bercinta.
“Emhh.. enak mass.. Teruss.. Teruss.. Ahh..!” desahnya lagi.
Sambil kembali mencium bibirnya, aku mulai mengarahkan tanganku ke selangkangan Lola. Waktu CD-nya kusentuh, ternyata ia sudah basah. Ciuman bibirnya menjadi lebih liar.
Tiba-tiba ia menarik bibirnya sambil berkata, “Mas Bandi, dilanjutkan di rumah Mas Bandi yuk..! Lola udah nggak tahan nih..!”
“Di sini juga bisa kok,” aku mencoba meyakinkan Lola.
“Nggak ah, malu. Ntar ada yang ngintip. Berabe kan.”
“Katanya udah nggak tahan.., Mas juga udah nggak tahan nih..!”
“Jangan di sini Mas.., pokoknya lebih enak di rumah Mas Bandi deh..”
“Jangan kuatir, entar sepanjang jalan Lola usap-usap deh torpedonya.” Lola merajuk sambil mengusap lembut torpedoku yang sudah keras.
Torpedoku memang sudah tidak terhalang celana dan CD lagi. Retsluiting sudah dibuka, CD sudah disingkapkan ke bawah buah pelir.
Terpaksa kuturuti permintaan Lola. Alhasil, sepanjang jalan aku menyetir sambil menggeliat nikmat karena usapan-usapan lembut Lola di bagian-bagian sensitif torpedoku.
Sampai di rumah, pembantuku ternyata sudah tidur. Kulihat jam tanganku menunjukkan jam 1 pagi. Aku pun perlahan membuka pintu garasi, memasukkan mobil, lalu membimbing Lola ke kamar tidur utama. Gejolak birahi yang tertahan sepanjang perjalanan membuatku langsung merengkuh tubuh semampai Lola, melumat bibirnya, sambil perlahan melepas pakaiannya satu per-satu.
Dalam sekejap kami sudah telanjang dan berada di atas ranjang. Sekali lagi aku menikmati tubuh menawan Lola, melumat puting susunya, sambil mengusap-usap belantara dan gua yang sudah basah. Terdengar bunyi berdecak ketika tanganku memainkan gua di selangkangannya sambil melumat payudaranya yang sintal.
“Emhh.. enak Mass..! Teruss.. Teruss.. Ahh..!”
Ia betul-betul gadis yang menikmati setiap denyut kenikmatan birahinya. Erangan dan ekspresi yang ditunjukkannya benar-benar nikmat didengar dan dipandang.
Terasa penisku semakin mengeras. Kulihat Lola meregangkan kedua kakinya, mengundang penisku untuk masuk.
“Ahh.... Emhh..” kembali Lola mengerang nikmat, “Masukkan Mas.., udah nggak tahan nih..! Akkhh..!” bisiknya bercampur erangan nikmat.
Aku pun segera memasukkan penisku ke dalam gua yang sudah basah. Karena sudah licin dengan cairan kenikmatan Lola, dengan mudah penisku yang sebenarnya termasuk besar itu dapat masuk sampai ke bagian terdalam vaginanya.
Terasa denyutan dinding vaginanya pada batang penisku. Ahh, nikmat sekali. Aku mulai bergerak naik turun perlahan, sambil menikmati erangan khas Lola. Gerakanku makin lama makin liar, seiring makin liarnya erangan dan gerakan pinggul Lola.
“Ahh, aku udah mau keluar..” bisikku kepada Lola.
“Tahan dulu Mas.. sebentar lagi..!” rengek Lola.
Aku pun mengatur nafas sambil melepas erangan untuk menahan ejakulasi. Aku menawarkan Lola untuk pindah ke posisi atas, supaya ia dapat mengatur gerakan yang sesuai dengan ritme orgasmenya.
Kami pun berguling, penisku tetap berada di dalam vaginanya saat kami berguling ganti posisi. Lola kini di sebelah atas. Ia bergerak naik turun.. naik turun.. Lama-lama berubah berputar-putar dan sesekali naik turun.. Erangan Lola berbaur dengan eranganku menahan ejakulasi.
“Ahh, enakk.. akk.. ku.. udah.. mmh.. mau keluar..!” Lola mengerang nikmat.
Aku pun mulai bergerak mengatur ritme agar dapat ejakulasi bersamaan klimaks yang dicapai Lola.
“Ahh, akk.. ku.. juga.. Mmmhh..!”
Terasa tubuh kami mengejang bersama-sama.
“Thanks.., Lola. Kamu luar biasa..” aku berbisik ke telinga Lola.
“Mas Bandi juga luar biasa..” bisik Lola.
Malam itu Lola menginap di rumahku. Kami tidur tanpa busana setelah mandi bersama.
TAMAT

Asmara Dari Sunda

Tanah Sunda sudah dikenal dengan gadis cantiknya sejak dari dulu. Bahkan konon di jaman penjajahan Belanda banyak tuan-tuan pemilik perkebunan yang mengawini wanita Sunda di sekitar lokasi perkebunan untuk dijadikan istrinya. Aku mengenal Titin dari hobi jalan malam di sekitar SM-Merdeka dan Siliwangi-Sukasari di Bogor.

Ketika sedang nongkrong di Wartel dekat pintu masuk Taman Topi ada wanita yang mondar-mandir didekatku. Dia mengenakan pakaian seragam sebuah pabrik. Kukira dia lagi nunggu temannya. Tidak lama kemudian ada seorang wanita lagi yang datang dan mendekatinya. Mereka bicara dengan suara keras dan nada tinggi seperti sedang memperdebatkan sesuatu. Aku tidak mau ikut campur dengan pembicaraan mereka. Toh aku juga tidak tahu ujung pangkalnya.
Setelah dilerai oleh Satpam, wanita yang datangnya belakangan akhirnya pergi dengan masih tetap memaki-maki wanita pertama dalam bahasa Sunda. Aku yang hanya sedikit tahu bahasa Sunda masih belum bisa sepenuhnya menangkap apa yang sedang terjadi di dekatku. Aku mulai tertarik dan memperhatikan mereka. Wanita pertama tadi hanya diam saja, meskipun raut mukanya menunjukkan kekesalan. Kudekati dan kutanya,
“Kenapa Teh, maaf kelihatannya lagi berantem. Apa sih masalahnya?”
“Nggak pa-pa kok. Dia menuduhku ada hubungan dengan suaminya. Padahal aku berhubungan dengan suaminya hanya sebatas urusan pekerjaan,” katanya.
“Ya sudah, teteh kelihatannya masih kesal. Minum es dulu yuk biar tenang,” kuajak dia untuk duduk minum di kafe yang banyak terdapat di sana.
Kami pesan es buah. Kutawarkan untuk makan tapi dia menolaknya.
“Terima kasih Aa. Saya teh sudah nggak ada nafsu makan dan lagian masih kenyang,” katanya halus.
Akupun maklum saja. Mungkin setelah bertengkar tadi meskipun perut lapar jadi tidak ada selera makan. Setelah pesanan kami datang, ia mengaduk gelasnya perlahan-lahan dengan sendoknya.
“Sudah tenang sekarang. Kalau boleh tahu, apa sih masalah sebenarnya?” tanyaku.
“Saya memang belakangan ini sering jalan dengan suaminya untuk urusan pekerjaan. Eh dianya cemburu ketika ketemu kami di Cibinong,” jawabnya.
“Kan bisa dijelasin ama suaminya?”
“Sudah, tapi dia nggak terima. Dibilang saya gatel, wanita murahan dan lain-lainnya. Daripada saya ladenin, nanti jadi makin rame saya tinggal pulang aja ke kantor. Eh dia belum puas dan telpon ke kantor. Katanya tungguin nanti malam di Wartel sini agar bisa selesai. Sampai di sinipun saya masih dimaki-maki. Untung dilerai sama Satpam”.
Akhirnya aku tahu dia bernama Titin dan bekerja sebagai supervisor produksi di salah satu pabrik tekstil yang memang banyak terdapat di sekitar Cibinong. Rumahnya di sekitar Biotrop. Suaminya minggat dengan perempuan lain enam bulan lalu. Jadi statusnya sekarang menggantung. Janda tidak, bersuamipun tidak juga. Dia belum punya anak. Janda kembang gantung, pikirku. Badannya ramping cenderung kurus, kulitnya bersih dengan dada membusung di balik seragamnya. Ada keindahan tersendiri melihat seorang wanita dalam pakaian seragam. Eksotis.
Entah kenapa kalau ketemu wanita seringkali statusnya janda. Tapi sebenarnya akupun tidak mau merusak keperawanan seorang gadis. Bagiku berat bebannya. Lebih enjoy dengan janda atau gadis yang sudah tidak perawan. Tidak usah mengajari lagi.
“Aku mau pulang, tapi pikiranku suntuk. Dibawa tidurpun pasti nggak mau,” katanya lagi.
“Kalau gitu kita jalan ke Puncak aja yuk. Menenangkan pikiran,” ajakku.
“Boleh, tapi jangan kemalaman ya!”
“Nggak, kan rumahmu juga nggak terlalu jauh ke Puncak”.
Aku mulai berpikir, pasti kami nggak akan kemalaman, paling-paling kepagian. Kamipun segera menghabiskan minuman dan segera berangkat ke Puncak. Sampai di daerah Cibogo, ia minta turun dan mengajak berjalan kaki menyusuri jalan raya. Para GM yang sedang menjerat mangsa menawarkan penginapan pada kami. Aku hanya menatap Titin dan ternyata dia cuek aja dengan tawaran GM tadi.
Dinginnya udara Puncak mulai terasa. Ia mulai kedinginan dan mendekapkan kedua tangannya di dadanya.
“Dingin?” tanyaku.
Titin hanya mengangguk saja. Sambil jalan kulingkarkan tangan kiriku pada bahu kirinya. Ia menggelinjang sedikit, sepertinya menolak pelukanku. Tapi tanganku tetap dibiarkan di bahunya. Bahkan tangan kanannya melingkar di pinggangku dan mencubitku. Aku menggerakkan pinggulku sedikit kegelian. Sampai di depan sebuah wisma kami berhenti.
“Masuk yuk!” ajakku.
“Mau ngapain. Katanya nggak sampai malam,” jawabnya. Ada nada keraguan atau mungkin juga kepura-puraan.
“Ngapain aja terserah kita dong. Lagian kalau dua orang berbeda jenis masuk ke hotel ngapain?” pancingku.
“Tidur aja. Kamu merem, saya merem. Aman kan,” katanya.
“Nggak mau. Kalau kamu merem aku melek, sebaliknya kalau kamu melek aku yang merem, supaya ada yang jaga,” kataku melempar umpan semakin dalam.
“Ayo. Tapi kamu janji jangan macam-macam. Awas nanti,” katanya mengancamku.
Dari suaranya umpanku sudah termakan. Tinggal tarik ulur tali saja agar ikannya tidak terlepas. Kami masuk ke dalam kamar. Kuperiksa sebentar kelengkapannya. Jangan sampai lagi tanggung room boy datang antar kekurangannya. Aku minta air putih saja untuk di dalam kamar. Meskipun udara dingin, aku yakin nanti pasti perlu minum. Titin masuk ke dalam kamar mandi dan sebentar kemudian terdengar suara air yang keluar dari jepitan pintu gua. Wsshh dan tak lama suara guyuran air.
Aku keluar kamar, berdiri di teras kamar sambil melihat suasana. Sepi, karena memang bukan week end. Aku masuk lagi ke dalam kamar. Kebetulan Titin pun keluar dari kamar mandi. Pintu keluar dan pintu kamar mandi berdekatan posisinya. Kupandangi wajah Titin, kupegang tangannya dan dengan sekali tarikan ia sudah ada dalam pelukanku. Ia sedikit meronta, tapi rasanya hanya penolakan pura-pura.
“Jangan.. Jangan!”
Kalau memang dia tidak mau, pasti kami berdua tidak akan sampai ke kamar ini. Kucium bibirnya yang tipis. Lemas sekali bibirnya sehingga terasa kenikmatan mulai menjalar, meskipun ia belum membalas ciumanku. Kulepaskan lagi ciumanku dan kutatap matanya.
“Aku mohon.. Jangan.. Jangan. Jangan disini sayang!” Ia mengakhiri kata-katanya dengan menyerbu bibir dan mukaku kemudian menarikku ke ranjang.
“To, aku merasa kesepian dan kedinginan. Kamu mau berikan kehangatan?”
Rasanya terbalik pertanyaan itu. Mestinya aku yang tanya apakah dia mau bercinta denganku.
“Pasti. Kita akan sama-sama puas malam ini”.
“Terima kasih To. Aku.. Aku..”.
Sambil berkata begitu ia langsung mencium bibirku. Akupun langsung membalas ciumannya. Bibir kami saling berpagut, lidah kami saling mendorong dan menjepit saling sedot. Cukup lama kami menikmatinya. Bibirnya memang benar-benar terasa sangat lemas sehingga dapat kupermainkan dan kuputar-putar dengan mulutku.
“Ayo puaskan aku sayang.. Ah. Ah.” suaranya hanya mendesis ketika ciumanku berpindah turun ke leher dan daun telinganya.
Tangan kiriku mulai menjalar di pahanya. Kusingkapkan roknya, benar-benar mulus sekali pahanya. Kuremas-remas sampai ke pangkal pahanya. Ketika sampai di celana dalamnya, kutekankan jari tengahku ke belahan di tengah selangkangannya dan ku gesek-gesekkan.
“Ah sayang. Kamu nakal sekali”.
Aku tidak menghiraukannya. Sementara itu tangan kananku meremas halus buah dadanya dari luar. Tangannya pun tak mau ketinggalan memegang bahkan mencengkeram keras kejantananku dari luar. Terasa sakit tapi aku dapat menikmatinya.
“Kita tidak akan kemalaman sekarang, tapi kepagian,” bisikku menggodanya.
“Biarin aja, saya besok shift siang jam 3″.
Dengan ganasnya aku menciuminya, seperti seekor kucing yang sedang melahap dendeng. Tangannya bergerak ke bawah dan terus ke bawah. Ia membuka kancing bajuku dan melepasnya. Kini setiap jengkal tubuhku bagian atas tak luput dari ciumannya. Kemudian ia membuka resleting celanaku dan langsung mencengkeram penisku.
“Anto, punya kamu boleh juga. Tidak besar tapi keras sekali. Apa ada wanita lain yang pernah merasakannya?”
Pertanyaan itu lagi. Kenapa setiap wanita mau tahu apakah pria yang dikencaninya pernah tidur dengan wanita lain.
“Ada, aku bukan perjaka lagi,” jawabku tenang, yang penting adalah apa yang terjadi sekarang ini. Dan lagi kelihatannya ia hanya sekedar bertanya tanpa mempedulikan jawabanku.
Belum selesai kata-kataku, ia telah mengocok dan kadang meremas kejantananku. Pintar sekali ia memainkan adik kecilku. Beberapa menit kemudian tegangan pada kejantananku sudah maksimal. Tiang bendera sudah tegak berdiri, siap untuk melaksanakan apel malam. Kudorong tubuhnya ke ranjang dan kemudian akupun langsung menerkam tubuhnya.
“Sabar sayang, buka bajunya dulu donk.”
Kamipun membuka pakaian kami masing-masing. Setelah telanjang bulat, langsung kubaringkan ia. Kuciumi senti demi senti tubuh mulusnya. Dari atas ke bawah sampai kepada paha dalamnya. Kurenggangkan kedua pahanya. Tercium aroma khas yang dipunyai seorang wanita. Kurenggangkan labia mayora dan labia minoranya dengan jempol dan telunjukku.
“Ayo sayang.. Puaskan.. Aku.. Ya.. Ohh. Oohh.” Kata-katanya terus meracau, apalagi ketika aku melahap habis biji kacangnya dengan mulutku, kadang kusedot, kuhisap, dan kugigit dengan lembut.
“Ah.. Ennak ssayang.. Kamu ppinnttarr. Ohh.. Oohh”
Aku sudah tidak mempedulikan kata-katanya. Aku makin asyik dengan mainanku. Kulepaskan mulutku dan kutindih dia. Kumasukkan jari tengah kiriku ke dalam lubang perlahan lahan. Tubuhnya meronta-ronta seperti orang kesetanan, kedua payudaranya bergoyang kencang. Aku pun meraih payudaranya itu. Dengan tangan kananku, kupelintir puting susunya yang sebelah kiri dan mulutku kini menggigit halus puting kanannya. Sementara jari kiriku tetap mengocok lubang vaginanya. Semakin cepat kocokanku, semakin cepat pula ia meronta.
Kuhentikan permainan tanganku dan kuarahkan kejantananku untuk memasuki liang kenikmatannya. Tanpa kesulitan aku segera menembus guanya. Terasa basah dan hangat. Kugerakkan pinggulku dan ia membalas dengan memutar pinggulnya dan menaik turunkan pantatnya mengimbangiku. Satu kakinya menjepit pahaku dan kaki lainnya dibuka lebar dan disandarkan ke dinding kamar. Kuciumi leher dan dadanya. Beberapa kali kugigit kecil kulit dadanya sampai meninggalkan bekas kemerahan.
“Ciumi leher dan pundakku! Aku sangat terangsang kalau dicium di situ,” rintihnya.
Kuikuti kemauannya dan sampai akhirnya ia menggelinjang hebat, kedua tangannya mencengkeram keras kepalaku. Pinggulnya naik menjemput kejantananku. Kutekankan kejantananku dalam-dalam dan akhirnya ia mencapai orgasmenya. Ia terkulai lemas. Ditekan-tekannya pantatku ke bawah dengan tangannya.
Kemudian aku turun dari tubuhnya dan membiarkannya beristirahat sebentar. Setelah napasnya pulih ia naik ke atas tubuhku dan mulai mencium bibir, leher dan telingaku. Mulutku menghisap kedua payudaranya. Terkadang kugigit putingnya bergantian. Ia hanya mengeluh merasakan nikmatnya. Beberapa menit kemudian ia sudah terangsang lagi.
“Ayo sayang. Aku sudah siap memuaskanmu di babak kedua..”
“Kita lakukan dengan berdiri,” kataku berbisik di telinganya. Ia hanya tersenyum dan mengangguk.
Kuangkat tubuhnya berdiri di samping ranjang. Kami masih saling berciuman dengan ganas. Ia kemudian mengangkat kaki kirinya ke atas ranjang, kudorong sedikit sampai ia mepet ke dinding kamar. Tangannya membimbing meriamku memasuki guanya. Pantatnya sedikit disorongkan ke depan dan perlahan lahan meriamku masuk, sampai..
Blesshh..
Semuanya sudah terbenam di dalam guanya. Oh hangatnya.
“Ayo sayang, goyang.. Sayang ohh.. Ohh”
Kedua tangannya memegang pantatku dan membantu gerakan pinggulku maju mundur. Rasanya nikmat sekali bercinta sambil berdiri. Badannya ia lengkungkan ke belakang sehingga meriamku dengan leluasa menobrak-abrik guanya. Pinggangnya juga bergerak-gerak mengimbangi gerakanku. Mulutku tetap melakukan aktivitas di bagian atas tubuhnya. Kadang berciuman, kadang menyedot dan mengulum putingnya. Cukup lama aku mengocoknya, akhirnya kupercepat kocokanku ketika kurasakan lahar panas akan keluar.
“Tin, oh.. Aku mau keluar. Di keluarin dimana nih ohh. Oohh”.
“Tunggu sebentar. Aku juga mau keluar, ohh. Ooohh sama-sama ya sayang.. Ohh.. Di dalam aja nggak apa-apa. Ohh barengan yah.”
Akhirnya kutumpahkan spermaku di dalam guanya. Aku mencapai klimaks duluan. Titin tidak bisa mencapai klimaks yang kedua meskipun ia masih berusaha menggerakkan pantatnya maju mundur karena meriamku sudah berangsur-angsur melemas dan akhirnya terlepas sendiri dari dalam guanya.
Kami rebah berdampingan di ranjang. Ia memelukku dan menciumku. Kuakui wanita satu ini memang luar biasa. Tidak dengan setiap orang aku dapat melakukannya dengan berdiri. Aku sudah coba. Tapi dengan Titin meskipun dia jauh lebih pendek dariku ternyata aku bisa melakukannya.
“Sorry Tin. Aku nggak tahan lagi. Nanti kita akan mulai lagi dengan santai dan saling menunggu sehingga bisa mencapai klimaks bersama-sama. Terima kasih ya sayang. Kamu benar-benar hebat.”
“Nggak apa-apa. Aku sudah dapat duluan. Kamu juga hebat. Malam ini masih panjang. Kita tidak usah tidur sampai pagi supaya dahagaku terpuaskan”.
Akhirnya sisa malam kami lalui dengan berpelukan. Ia tersenyum kemudian menciumku dan merebahkan kepalanya di dadaku. Malam itu kami masih melakukannya lagi tiga kali sampai pagi. Sekali kami lakukan di lantai beralaskan selimut. Ternyata ketika bermain di lantai kami bisa merasakan nikmat yang luar biasa. Gairah kami seakan-akan meledak sampai seluruh badan terasa sakit dan ngilu. Tetapi setelah mandi pagi gairahku kembali menyala dan aku masih sempat sekali lagi bergumul dengannya.
Kami pulang dengan membawa kepuasan dan rasa lelah yang luar biasa. Seharian kuhabiskan dengan tidur-tiduran. Bahkan aku tidak sempat makan siang. Setelah itu aku masih sempat dalam dua pertemuan merasakan kehebatannya bercinta dalam posisi berdiri. Akhirnya dia pindah kos dan aku kehilangan jejak.
E N D

Asmara Seorang Karyawan

 

 

Aku pulang dari Balikpapan setelah berada di sana selama tiga minggu untuk urusan kantor. Aku tidak dapat pesawat yang langsung ke Jakarta, jadi terpaksa naik pesawat terakhir yang transit di Surabaya. Karena badan terasa lelah sekali, begitu pesawat take off aku langsung tertidur lelap dengan melepas seat belt agar lebih nyaman. Aku sudah tidak peduli dengan penumpang di sampingku. Seorang wanita berumur tiga puluhan. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara halus.


“Pak, sandarannya ditegakkan dan sabuknya dipasang. Sudah mau landing"
Ternyata suara pramugari mengingatkanku. Aku setengah terkejut dan kesadaranku masih belum pulih ketika roda pesawat sudah menyentuh landasan. Setelah pesawat berhenti baru aku sadar sepenuhnya. Kemudian awak kabin mengumumkan pesawat akan transit selama 45 menit dan penumpang dipersilakan untuk turun menunggu di rung tunggu bandara Juanda.
Karena aku duduk di dekat jendela, maka aku menunggu wanita tadi keluar dari bangkunya. Aku mengikuti barisan penumpang yang turun dan tak lama aku sudah berada di ruang tunggu. Wanita tadi duduk di depanku agak ke menyamping ke kanan. Aku berdiri sebentar dan merentangkan tanganku agar otot-ototku relaks, lalu duduk lagi. Wanita tadi memperhatikanku sekilas. Kulempar senyum dan iapun membalas sekedarnya. Kacamata tipis, mungkin minus satu atau paling banter minus dua bertengger di hidungnya yang bagus.
Kubaca Matra Edisi Khusus yang kubeli di book store. Liputannya tentang kehidupan malam sepanjang Bopunjur. Tahu Bopunjur? Bogor, Puncak, Cianjur. Kubuka-buka sebentar dan sekilas isinya aku sudah tahu. Bahkan bukan sombong, tempat-tempat yang disebutkan di dalam liputan itupun bukanlah sesuatu yang asing bagiku. Akhirnya kuletakkan Matra tadi di atas meja di sampingku. Wanita tadi sekilas memperhatikan covernya.
“Mas, boleh pinjam majalahnya?” ia bertanya sambil mendekat mengambil Matra tadi.
Sayang, rupanya tempat duduknya kemudian diambil orang yang berdiri dan mengobrol dengan teman yang duduk di sebelah wanita tadi. Kuturunkan tasku dari bangku di sampingku dan tanpa disuruh wanita tadi sudah duduk di situ dan mulai muembuka lembaran majalah yang dipegangnya.
Terdengar pengumuman bahwa pesawat yang kunaiki mengalami gangguan teknis sehingga pemberangkatan ditunda satu jam. Kudengar gerutuan sebagian penumpang. Wanita tadi cuma memiringkan kepalanya memperhatikan pengumuman tadi dan setelah itu ia kembali asyik membaca.
Setelah tigapuluh menit membaca, ia menyerahkan majalah itu kembali padaku sambil mengucapkan terima kasih. Aku memulai percakapan.
“Ke Jakarta?” tanyaku.
“Iya, untuk tugas dari kantor,” jawabnya.
“Di Jakarta tinggal di mana?" tanyaku lagi.
“Belum tahu, sebenarnya saya harus ke Ciawi untuk ikut kursus, tapi nampaknya kita akan kemalaman tiba di Cengkareng. Aku sendiri belum hafal Kota Jakarta. Apalagi malam hari. Tadi kalau berangkat siang sih sebenarnya ada panitia yang jemput. Mau langsung ke Ciawi agak ngeri, apalagi setelah membaca liputan tadi”.
Dari logatnya aku menduga ia berasal dari Banjar. Setelah kutanyakan kepadanya ternyata benar dan ia sudah bekerja di Balikpapan selama lima tahun. Aku tidak menanyakan statusnya. Buat apa pikirku. Toh aku tidak berniat memacarinya.
“Kerja di mana sih?” Pertanyaanku mulai menjurus hal-hal yang personal.
“Saya apoteker”.
“Pantas bajunya bau obat,” aku kelepasan bicara. Aku baru sadar setelahnya. Ia melengos mukanya memerah, mungkin tersinggung dengan ucapanku tadi.
Satu jam berlalu dan kulihat ia menjadi gelisah sambil terus-menerus memandang keluar, ke arah landasan. Akhirnya setelah seperempat jam kemudian pesawat kami sudah siap melanjutkan penerbangan dan para penumpangpun naik ke pesawat.
Lima puluh menit kemudian pesawat sudah tiba di Cengkareng. Karena tidak bawa bagasi, aku bergegas keluar. Wanita tadi masih menunggu tas satunya di bagasi. Aku masih berdiri di luar sambil cari-cari taksi ketika wanita tadi mendekatiku.
“Mas pulangnya kemana?”
“Saya tinggal di Jakarta Timur”.
Dia kelihatan ragu hendak mengatakan sesuatu. Aku menduga-duga ini ada kaitannya dengan tujuan kepergiannya.
“Kalau mau begini saja. Mbak nginap saja di hotel, besok pagi baru berangkat ke Ciawi. Lebih aman,” kataku menyarankan. Kulihat dia ragu-ragu dan kelihatan seperti sosok yang lemah. Dia menatapku lagi seakan-akan minta perlindungan.
“OK, jadi begini, Mbak nginap di hotel. Saya akan temani. Eh.. Maksudnya saya ambil kamar satu juga di sana. Besok pagi saya antar ke Ciawi. Kebetulan saya masih ada kelebihan hari perjalanan dinas,” kataku memutuskan.
Akhirnya dia setuju dan mukanya menjadi cerah.
“Oh ya maaf, dari tadi kita belum kenalan. Saya Della,” katanya sambil mengulurkan tangan.
“Anto,” kataku sambil kujabat tangannya.
Aku berpikir, kalau saja dia tidak memerlukan pertolonganku, mungkin dia tidak akan mengajak berkenalan. Tapi wajar saja karena dia perempuan.
Beberapa menit kemudian kami sudah sampai di sebuah hotel di kawasan Matraman. Kami dapat kamar bersebelahan. Kami masing-masing masuk ke kamar dan berjanji untuk makan di bawah setelah mandi dan merapikan diri. Setengah jam kemudian kuketuk pintu kamarnya. Tok tok tok.
“Della.. Della. Ini Anto”.
“Tunggu sebentar Mas”.
Tak lama kemudian ia membuka pintu kamarnya. Kulihat sekilas barangnya masih berantakan di atas ranjang. Kamipun segera turun ke bawah untuk mencari makanan. Dengan pertimbangan biaya kuajak dia untuk makan di warung tenda saja. Di Jakarta tidak ada tempat untuk gengsi.
“Saya dari Balikpapan kepingin makan gudeg setelah sampai di Jawa,” katanya.
“Ada, nanti kita cari,” jawabku sambil menyusuri trotoar.
Jalan sudah mulai lancar, kupegang tangan kanannya. Ia terkejut dan dengan halus menarik tangannya. Sekilas kulihat jarum pendek sudah melewati angka sembilan.
“Sorry.. Saya hanya mau lihat jam saja kok”. Ia hanya menunduk dan kamipun terus berjalan.
Setelah makan gudeg, kami kembali ke hotel dan duduk di lobby. Rasa penat masih terasa di badanku. Aku sebenarnya mau massage, tapi nggak enak sama Della. Kami masih bicara ke sana ke mari, sampai akhirnya kami merasa mengantuk. Kulihat jam dinding menunjukkan jam setengah sebelas.
Kami naik dan kuantar dia di depan kamarnya. Kuharap dia mempersilakanku masuk, namun Della hanya mengucapkan terima kasih kemudian selamat malam dan menutup pintunya. Sekilas kulihat sorot matanya yang berbinar memandangku.
Aku masuk ke kamar dan langsung membaringkan diri ke atas ranjang tanpa membuka pakaianku. Kucoba untuk memejamkan mata, tetapi tidak bisa. Kubayangkan Della yang tidur sendirian di kamar sebelah. Lebih satu jam aku hanya bergolek ke kanan kekiri tanpa bisa memejamkan mata. Akhirnya kuputuskan kuhubungi saja gadis di kamar sebelah ini. Kuraih gagang telepon dan kutekan nomor kamarnya, 237. Setelah beberapa kali berdering kemudian dari seberang terdengar suara agak serak,
“Hallo”.
“Della, belum tidur kan?”
“Eh.. Mas Anto. Belum Mas, mataku tidak bisa terpejam. Padahal di lobby tadi sudah menguap terus. Mikirin besok pagi”.
“Atau lagi mikirin yang lainnya kali,” kataku menggodanya.
“Ahh Mas Anto ini ada-ada saja”.
“Kita ngobrol lagi aja yuk,” ajakku.
“Sudah malam, nggak enak dilihatin orang nanti”.
“Ini Jakarta Non, saya ke kamarmu ya?” kataku dengan nada setengah memaksa.
“Iya deh,” katanya lemah.
Kuketok pintu kamarnya tiga kali dan kemudian pintu dibuka dari dalam. Aku masuk, kini barangnya gantian berantakan di atas kursi.
“Maaf Mas, berantakan. Belum sempat beresin. Rencananya besok aja sekalian berkemas. Duduk, Mas!”.
Aku mengedarkan pandanganku. Karena sudah tidak ada tempat duduk lagi maka aku duduk diatas ranjangnya. Kami akhirnya ngobrol tentang pengalaman kami masing-masing saat masih kuliah. Semakin lama semakin seru topik obrolan kami. Ia mengeluarkan dua kaleng minuman ringan dari mini bar. Dan meletakkannya di antara kami.
“Diminum Mas”.
Aku mengambil satu kaleng tapi tidak kubuka, hanya kupegang-pegang saja. Entah bagaimana awalnya, tangannya tiba-tiba sudah kupegang dan kutarik dia ke pangkuanku. Kucium bibirnya dengan ganas. Della menghindari ciumanku, tapi aku tidak menyerah. Kucoba lagi, kali ini bibirku mendarat pas pada bibirnya. Ia meronta sebentar tapi kemudian ia membalas ciumanku dengan tidak kalah ganasnya.
“Mas.. Ah.. Ehh .. Ouhh,” Ia gelagapan membalas seranganku.
Kulepaskan seranganku sebentar karena aku merasa jalan tol sudah terbuka di depanku, sekarang tinggal tunggu saat yang tepat saja untuk memacu mobilku. Kutatap dia dengan tajam. Ia kelihatan jengah dan menghindari tatapanku. Ketika mata kami saling bertemu, aku memberi isyarat dengan menganggukkan kepalaku. Iapun mengangguk malu dan menundukkan mukanya.
Aku sedikit terkejut ketika sadar bahwa ia tidak mengenakan bra di bawah kausnya. Aku tahu karena putingnya menonjol, membentuk bayangan satu titik di kausnya. Aku tersenyum sambil melirik pada payudara Della.
Della hanya tersenyum melihatku, kakinya ditaruh di atas pahaku dan dia menyodorkan dadanya ke depan mukaku. Tanpa diberi komando aku langsung meremas payudaranya dengan penuh nafsu. Tanganku kemudian membuka kausnya. Aku menciumi payudaranya dan menghisap putingnya yang mulai mengeras. Tangan Della membelai rambutku sambil sesekali mendorongnya ke payudaranya.
Aku menggunakan jariku untuk membelai daerah selangkangannya, dan jariku juga mulai menekan terutama di lipatan vaginanya. Tangan Della digesek-gesekan di penisku yang juga sudah mengeras.
“Aah.. Mas ss.. Enak.. Teruss.. Anto.. Ahh”
Mendengar erangan Della nafsuku sudah tidak dapat ditahan lagi. Aku merebahkan diri sambil menciumi leher Della dan naik ke bibirnya. Kubuka celana panjangku. Aku terus menciumnya dengan penuh nafsu, kutindih tubuhnya diatas spring bed yang empuk. Kulirik bayangan di kaca lemari. Badanku yang besar seolah-olah menenggelamkan badannya yang mungil. Sambil mendesah Della tertawa kegelian,
“Ahh.. Nafsu amat sih..”
Kubuka celana pendeknya dan kutarik sekaligus dengan selana dalamnya.
“Akhh..”
Kami saling mengulum bibir dengan penuh nafsu, nafas kami mulai tidak teratur. Kaki Della menjepit pinggangku Aku menciumi leher kemudian turun ke payudaranya, lalu aku hisap putingnya. Terus turun dan menghisap pusarnya, Della tidak tahan diperlakukan demikian,
“Anto.. Akh.. Geli akh..,”
Aku terus menciuminya lalu aku turun dan saat sampai di depan selangkangannya aku menurunkan kepalaku, menjilati paha dan sesekali menggigitnya. Dia mengganjal kepalanya dengan bantal dan memperhatikanku. Ketika mulutku akan menyapu vaginanya ia menarik kepalaku ke atas dan menciumiku kembali.
“Jangan.. Aku tidak biasa..”.
Penisku kuarahkan ke vaginanya yang basah, kutekan perlahan dan saat sudah masuk setengahnya aku menekan dengan keras.
“Sshh.. Akhh.. Terus To.. Akh..,” Della merintih
Bibir kami saling bertautan dengan kuat. Ketika kulepaskan bibirnya yang justru mencari-cari bibirku. Mulutnya setengah terbuka sambil mendesis-desis. Aku menggerakkan penisku dengan perlahan dan kadang aku percepat temponya. Rasanya penisku dijepit dan diremas-remas dengan kuat oleh otot vaginanya. Dan hal ini membuat aku semakin tidak tahan, penisku rasanya sudah hampir meledak.
Aku terus memompa penisku di vaginanya dengan tempo yang bertambah cepat. Nafasku mulai memburu. Payudaranya kuremas dan kupencet sehingga putingnya bertambah menonjol. Kujilati putingnya dan kugigit-gigit dengan bibirku. Aku menghnetak-hentakkan tubuh Della ke ranjang dengan kasar saat aku sudah tidak dapat menahan ledakan penisku,
“Dell Della.. Akh.. Ouch.. Akh..”.
Kurasakan tubuh Della juga mulai bergetar dan bergerak-gerak dengan irama yang liar. Matanya merem melek, bola matanya memutih. Kakinya menjepit pinggangku. Tubuhku mengejang dan aku menekan tubuh Della hingga semakin tubuh kami semakin merapat.
“Akh.. Anto.. Nikmat sekali.. Sss”
“Yeah Della.. Akh. Kalau saja dari tadi.. Pasti aku..”
“Akh.. Tekan yang cepat dan kuat.. Akh..”
Mata Della merem melek menikmati sodokan penisku. Aku kemudian mengangkat kedua kakinya dan memegangnya dengan tanganku. Aku dalam posisi setengah jongkok dengan tumpuan kedua lututku. Tanganku memegang pinggangnya dan penisku menekan dengan irama yang semakin cepat. Vaginanya terasa basah dan becek, namun penisku bagaikan dijepit kuat dengan tang.
“Akgh Anto.. Aku hampir.. A a kku.. Hampir keluarhh.. Ouchhggakhh,”
Kurebahkan tubuhku diatas tubuhnya dan kupeluk dengan rapat. Aku menikmati ekspresinya saat Della menunggu mencapai orgasmenya. Kudiamkan sejenak gerakan penisku. Della memprotes dan tangannya memegang pinggangku serta menggerakkannya naik turun. Kurasa tensinya sedikit turun. Aku masih ingin menikmati permainan dan kuharapkan dapat kucapai puncak bersama-sama.
Aku mengehentakkan pantatku naik turun dengan sedikit kasar. Keringat kami sudah mulai bercucuran. Tangan Della meremas-remas pantatku dan kadang menariknya seolah-oleh penisku kurang dalam masuk dalam vaginanya. Saat aku merasakan hampir meledak aku melambatkan gerakanku dan mengatur nafasku sambil menghisap putingnya, ketika perasaan itu sedikit hilang aku mulai bergerak lagi.
Tangannya meremas pundakku dan dengan liar bibirnya mencari bibirku. Dia mendesah dan gerakannya sangat liar. Aku tahu kini saatnya kami dapat mencapai puncak kenikmatan tertinggi bersama-sama.
“Yeah.. Anto.. Akhh. Kamu belum mau keluar juga.. Akhh ouchh..”
Della mengejang dia mengangkat pantat menekan penisku sehingga rasanya sampai di dasar rahimnya dan penisku serasa disedot dengan kuat, tubuh Della melengkung dan tangannya mengusap pipiku dengan kuat. Kutekan pantatku perlahan namun penuh tenaga.
“Yeacchchh..”.
Tubuh kami menggelinjang dengan hebat, kami berteriak dan tidak perduli jika ada orang lain yang mendengarnya.
“Akhh.. To.. Anto.. Aakkhh..”.
“Della kamu hebataunhh.. Akh.. Ouchhakhh.. Akh.. Ouch..”
Kami mengelepar menikmati kenikmatan yang kami rasakan bersama. Aku beranjak bangun dari tubuhnya saat penisku sudah mengecil, Tubuhnya bergetar saat aku mencabut penisku.
“Kau luar biasa Del.. Hmm.. Tabat Barito ya!” pujiku.
Ia tersenyum saja dan menggayut di lenganku, “Kok tahu aja sih..”. Katanya manja.
“Apoteker yang punya obat-obatan lengkappun masih mengandalkan Tabat Barito. Luar biasa memang,” kataku lagi.
Kami tidur berpelukan sampai pagi dan paginya kuantarkan dia ke Ciawi. Dia berjanji akan menginap lagi semalam di Jakarta dan memberikan lebih lagi nanti pada saat dia mau pulang ke Balikpapan.
E N D